Å·±¦ÓéÀÖ

Jump to ratings and reviews
Rate this book

Dialog

Rate this book
Dialog mengumpulkan tigapuluh tahun artikel koran Umar Kayam, dari 1969 sampai 1999. Di karangan-karangan nonfiksi yang kebanyakan berbentuk esai dan reportage singkat ini, Umar Kayam menunjukkan sisi lain dari yang dia tunjukkan dalam cerpen, novel dan terutama kolom Mangan Ora Mangan Kumpulnya. Hatinya tetap Jawa, tapi kali ini penanya lebih tidak sabar mengeluarkan kritik-kritik dari kepala yang dipenuhi dengan teori-teori Barat tentang kitsch, pendidikan, wayang, teater, seni lukis, film, sastra, televisi, taksi, jam karet, dan masih banyak lagi. Masih dengan semangat kemulticendekiawanan yang dulu menjamur di Indonesia (lihat juga Asrul Sani, Mochtar Lubis, Soekarno), tapi sekarang sudah jarang ditemui, dan dengan gaya yang ringan, bercanda tapi serius dan nyelekit. Yang membuatnya seakan-akan ada di hadapan anda pembaca, mendongeng dan berdialog.

Selain bisa mengikuti perubahan gaya menulis Umar Kayam selama tigapuluh tahun, dengan Dialog anda juga dapat mengamati kemajuan (dan kemunduran!) dunia Indonesia yang dia ceritakan. Dan Dialog, tidak seperti kebanyakan buku nonfiksi yang diterbitkan di Indonesia, dilengkapi dengan indeks lengkap (bukan hanya indeks nama saja) yang akan membantu anda menemukan lagi apa tadi yang sudah anda baca tapi sekarang sudah lupa ada di halaman berapa.

325 pages, Paperback

First published January 1, 2005

5 people are currently reading
39 people want to read

About the author

Umar Kayam

36Ìýbooks142Ìýfollowers
Many predicate have been given to Umar Kayam. He was a writer, lecturer, bigscreen artist. Most of his time was spended as a lecturer at Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Bibliography:
* Sri Sumarah (Pustaka Jaya, 1975)
* Para Priyayi (Pustaka Jaya, 1992)
* Jalan Menikung/Para Priyayi 2 (Pustaka Jaya, 2002)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
21 (30%)
4 stars
22 (31%)
3 stars
19 (27%)
2 stars
7 (10%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 11 of 11 reviews
Profile Image for Maya Murti.
197 reviews6 followers
January 9, 2018
Setelah saya membaca , saya meneruskan membaca buku ini. Masih dengan pengarang Umar Kayam karena saya kagum dengan bentuk tulisan beliau.

Buku ini merupakan kumpulan esai dari tahun 1960-an akhir hingga 1990-an yang telah diterbitkan di berbagai surat kabar Indonesia. Secara umum esai-esainya bercerita tentang seni-budaya Indonesia pada tahun-tahun tersebut, di mana Umar Kayam berpendapat bahwa Indonesia saat itu sedang berada pada masa transisi dari kehidupan tradisional dan feodal ke kehidupan modern dan demokratis.

Salah satu fenomena yang ia kemukakan adalah perihal budaya korupsi dan nepotisme. Menurut Kayam, masyarakat Indonesia yang masih berkultur feodal belum bisa beradaptasi sepenuhnya dengan bentuk organisasi yang sistematis. Maka, praktik "menempatkan keponakan dalam kantor yang sudah penuh karyawan" dipandang sebagai suatu kebaikan, karena dengan begitu hati merasa lega bisa membantu keluarga. Di sisi lain, adanya penyalahgunaan kekuasaan yang menumbuhkan praktik sogok-menyogok terjadi karena orang berkuasa dipandang sebagai sosok berwibawa. Karena power is awesome, maka segala permintaan penguasa harus dipatuhi. Jika tidak, jangan harap urusan kita bisa lancar dan berhasil. Nah, budaya harus bayar inilah yang bisa mematikan gairah dan etos kerja, serta memicu pegawai negeri dan pengusaha untuk bergaya hidup mewah.

Fenomena transisi ini juga menjamah kegiatan pertunjukan seni. Kayam menyorot soal perubahan kemasan pertunjukan wayang klasik menjadi wayang orang yang disebabkan oleh perubahan dinamika masyarakat dari desa menuju kota. Kehidupan kota yang sibuk menjadikan masyarakat perlu suatu hiburan yang instan namun spektakuler. Muncullah istilah kitsch yang merujuk pada kebutuhan itu. Kayam sendiri memandang pertunjukkan kitsch bukan sesuatu yang mesti dipandang rendah. Ia berpendapat bahwa kitsch juga terinspirasi dari nilai-nilai pertunjukkan klasik yang pengemasannya pun membutuhkan keterampilan tingkat tinggi agar menjadi spektakuler.

Pada esai lain, Umar Kayam--dalam kapasitasnya sebagai pengajar--mengemukakan pandangannya terhadap kebutuhan tenaga kerja yang siap pakai:
Ia akan harus melewati masa penyesuaian dalam lingkungan kerjanya dan dalam masyarakat. Dalam lingkunan kerjanya dia tidak hanya harus menyesuaikan diri dengan kiat-kiat teknis pekerjaannya tetapi juga menyesuaikan dirinya dengan hidup beragam dalam satu "jagat kecil" organisasi kerja. Kemudian di luar itu ada "jagat besar" masyarakat dan "jagat yang lebih besar lagi", masyarakat dunia. Dengan demikian manusia yang terdidik itu pada hakikatnya harus terus-menerus melakukan penyesuaian dengan lingkungan masyarakatnya. "Terampil" hanya berarti bila warga masyarakat yang terdidik itu berada cukup lama dalam proses penyesuaian tersebut. Yang cukup cerdas dan peka akan terampil dalam perjalanan proses tersebut tetapi tidak sejak semula dengan sendirinya akan terampil waktu keluar dari sekolah atau universitas (Siap Pakai dan Terampil, 1997).

Jadi dari tiga contoh tema itu, semuanya bercerita tentang transisi sebagai keniscayaan dalam bermasyarakat. Dan membuat saya takjub karena esai-esai itu ditulis beberapa dekade yang lalu dan masih relevan hingga kini.

Selain esai-esai tentang transisi dan langkah yang dibutuhkan dalam bertransisi, Umar Kayam juga menulis ulasan karya sastra dan lukis. Ada pula esai Kayam yang berisi anekdot kehidupannya sebagai orang Jawa. Ia juga menulis esai perjalanan saat ke Uni Soviet di tahun 1971--di mana peristiwa Aidit sebagai anggota PKI masih dibicarakan--dan pengalamannya berhaji tahun 1994.
...Dalam hati saya juga bertanya apakah seorang muslim dengan kualitas seperti saya ini pantas mendapat anugerah sebesar itu. Naik haji bersama istri. Gratis lagi! Pertanyaan itu saya bawa ke tempat tidur dan di situ saya mengulang lagi ngunandika saya dengan pertanyaan langsung kepada Allah SWT. Pada penutup pertanyaan itu saya menyimpulkan: Ya Allah, bila ini memang rencanaMu untuk membuat saya menjadi muslim yang lebih baik dengan memulainya lewat ibadah haji dan tidak lewat prosedur yang lebih biasa, saya menerima anugerahMu ini dengan rasa syukur yang tidak terhingga...

Belum habis saya menyimpulkan itu tiba-tiba tangan saya terkulai, menggelapai, tulang saya seperti tersedot dari tangan. Waktu saya berusaha memanggil anak dan istri saya suara yang keluar celat dan bibir terasa tebal. Menurut dokter itu adalah stroke ringan yang lewat sekejap. Menurut saya itu adalah slentikan dari Gusti Allah, saya yang masih juga mempertanyakan anugerah dariNya (Naik Haji, 1994).
Profile Image for Syifa Luthfianingsih.
250 reviews95 followers
October 4, 2019
Bacaan seharian kemarin di Kineruku.
Pertama kali baca buku Umar Kayam. Yang satu ini isinya kumpulan esai beliau dari tahun 1960-1990-an tentang transisi Indonesia dari feodal ke demokratis (?), obrolan sehari-hari dengan sopir taxi, Tuhan, juga ulasan karya sastra dan lukis.

Salah satu esai favorit saya adalah "Jam Karet".

Ada kalanya orang sebaiknya bersikap fleksibel terhadap waktu. Ada waktunya pula orang mesti tegar tepat terhadap waktu.

Profile Image for Farrisghazy.
5 reviews
November 27, 2014
Dialognya Alm.Umar kayam sepertinya boleh dibilang mewakili dialognya orang Indonesia yang memang cenderung suka berbasa basi. Tapi Dialog yang ini kerap diikuti dengan cara pandang njawani yang kerap menyentil tanpa orang yang mendengarnya harus merasa tersentil, tapi cukup senyam senyum sendiri tersentuh oleh hangatnya sebuah dialog dari seorang Umar Kayam. Laporannya yang cukup mendetail semasa dikirim ke Rusia bersama Taufik Ismail juga cukup berkesan untuk saya. Dialog dengan Nasar,dan "Open Haus" :D
Profile Image for Mikael.
AuthorÌý7 books79 followers
February 24, 2008
i edited this book and wrote the foreword, it saddens me that after reading these essays zillions of times ive got to say ole pak ageng was kinda overrated he got away with murder jez because he was so much more well-read than his contemporaries (ie they were too poor to be able to afford the paperbacks he stacked his shelves with when he was at cornell)
Profile Image for devie.
47 reviews2 followers
January 25, 2011
semuanya menarik dan asyik. esai esai yang mengalir begitu saja. 1 esai yang paling aku suka adalah komentar (alm)Pakde Kayam soal taksi berAC di jakarta. :)
Profile Image for Ziyy.
611 reviews23 followers
September 22, 2012
awalnya sih doeng doeng, sulit nangkrp. tapi akhirnya bisa menikmati essai-essai beliau yang cerdas. emg multiintelejen, salut ^^d
5 reviews4 followers
February 21, 2013
Seperti biasa. Umar Kayam selalu berhasil memikat hati pembaca dengan bahasa yang khas. Guyon tapi nyelekit. Begitulah kira-kira :)
Profile Image for Amal Bastian.
115 reviews4 followers
July 17, 2016
Membaca pemikiran seorang revolusioner yang jujur, gayeng, dan cerdas namun dengan bahasa yang lebih santai.
Displaying 1 - 11 of 11 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.