Kajian-kajian Ilahiah dan pengetahuan-pengetahuan ketuhanan sangat samar. Ia berupa jalan suluk yang pelik, yang tidak berhenti pada kebenarannya kecuali seorang demi seorang da tidak ditunjukkan pada esensinya kecuali pendatang demi pendatang. Barangsiapa ingin menyelami lautan pengetahuan Ilahi dan mendalami hakikat ketuhanan, maka ia harus menempa diri dengan latihan-latihan (riyadhah) ilmiah dan amaliah serta memeperoleh kebahagiaan abadi sehingga terbitnya cahaya kebenaran dimudahkan baginya dan ia pun memperoleh kemampuan bawaan (malakah) untuk menanggalkan badan naik ke kerajaan langit. Buku ini disusun dengan sederhana, namun sangat mendalam. Berbagai argumentasi, hikamah kajian, dan tempat pencarian cita-rasa spiritual (dzawq) dan penyingkapan mistis (kasyf) merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dalam memperdalam ilmu terhadap kajian Ilahi. Buku ini berisi pilihan masalah-masalah ilmiah tentang al-mabda' ("tempat bermula") dan al-ma'ad ("tempat kembali") serta ringkasan dzawq yanh dihasilkan dari perjalanan spiritua; (sair-wa-suluk) dalam "permulaan" (bad) dan "kembali" ('aud). Kajian yang disampaikan sangat indah, pendalaman-pendalaman yang bagus, dan rumus-rumus ilmiah yang luput dari kajiankitab-kitab sebelumnya dan tidak tercakup dalam kitab-kitab sesudahnya.
峁dr ad-D墨n Mu岣mmad Sh墨r膩z墨, also called Mulla Sadr膩 (Persian: 賲賱丕 氐丿乇丕鈥�; also spelt Molla Sadra, Mollasadra or Sadr-ol-Mote'allehin; Arabic: 氐丿乇丕賱賲鬲兀賱賴蹖賳鈥�) (c. 1572鈥�1635), was an Iranian Shia Islamic philosopher, theologian and 鈥樐€lim who led the Iranian cultural renaissance in the 17th century. According to Oliver Leaman, Mulla Sadra is arguably the single most important and influential philosopher in the Muslim world in the last four hundred years.
Though not its founder, he is considered the master of the Illuminationist (or, Ishraghi or Ishraqi) school of Philosophy, a seminal figure who synthesized the many tracts of the Islamic Golden Age philosophies into what he called the Transcendent Theosophy or al-hikmah al-muta鈥檒iyah.
Mulla Sadra brought "a new philosophical insight in dealing with the nature of reality" and created "a major transition from essentialism to existentialism" in Islamic philosophy, although his existentialism should not be too readily compared to Western existentialism. His was a question of existentialist cosmology as it pertained to Allah, and thus differs considerably from the individual, moral, and/or social, questions at the heart of Russian, French, German, or American Existentialism.
Mulla Sadra's philosophy ambitiously synthesized Avicennism, Shahab al-Din Suhrawardi's Illuminationist philosophy, Ibn Arabi's Sufi metaphysics, and the theology of the Ash'ari school and Twelvers.
his main work is The Transcendent theosophy in the Four Journeys of the intellect, or simply Four Journeys.
Dimana menariknya membahas tentang kehidupan dan kematian? Ya, ini pertanyaan penting sebab kita semua mengalami akan dua peristiwa tersebut. Jika semata melihat peristiwa dari keduanya tak ada menariknya, karena itu hanya sebatas "melek" dan "merem" saja. Namun, jika melihat proses "di antaranya" itulah yang menjadi menarik. Fase "di antaranya" adalah proses "suluk" bagi sang "salik". Di sana terjadi proses pergumulan yang menegaskan siapa sejatinya manusia. Masa "berjalan" itulah sang "salik" dituntut merenungkan siapa dirinya, dari mana dan akan kemana ia pergi setelah usai jatah hidup di dunia. Tanpa mengkaji "Sangkan Paran" apa arti hidup ini? "Hidup yang tak dikaji adalah hidup yang tak layak dihidupi," ungkap seorang bijak. Dan, buku ini hadir dengan pembahasan tentang "sangkan paran" itu. Memang sudah banyak buku/kitab yang membahas tentang hal itu, namun rasanya belum cukup memuaskan. Karena apa? Ya, setiap generasi yang lahir mempunyai tingkat bahasa, dan pemahaman yang berbeda. Tentunya ini memberikan tantangan bagi para "ulama" untuk membahasakan dengan tingkat pemahaman umatnya. Apalagi hakikat tentang "sangkan paran" memang tak habis dibahas, ibarat udara yang tak habis dihirup. Ditulis oleh Mulla Sadra, seorang sufi sekaligus filosof, buku ini menyajikan pembahasan yang menarik. Para pembaca mungkin perlu kesabaran untuk mencerna bahasa-bahasanya yang banyak menggunakan istilah filsafat dan tasawuf. Dan, saya pikir, di sinilah pembaca akan terus mengarungi tulisannya hingga selesai.