Ditulis di Rajawati dekat pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Di sini saya berdiam dari 15 Juli 1942 sampai pertengahan tahun 1943. Mempelajari keadaan kota dan kampung Indonesia yang lebih dari 20 tahun ditinggalkan.
Tan Malaka (1894 - February 21, 1949) was an Indonesian nationalist activist and communist leader. A staunch critic of both the colonial Dutch East Indies government and the republican Sukarno administration that governed the country after the Indonesian National Revolution, he was also frequently in conflict with the leadership of the Communist Party of Indonesia (PKI), Indonesia's primary radical political party in the 1920s and again in the 1940s.
A political outsider for most of his life, Tan Malaka spent a large part of his life in exile from Indonesia, and was constantly threatened with arrest by the Dutch authorities and their allies. Despite this apparent marginalization, however, he played a key intellectual role in linking the international communist movement to Southeast Asia's anti-colonial movements. He was declared a "hero of the national revolution" by act of Indonesia's parliament in 1963.
Tan Malaka menulis buku madilog dengan maksud untuk menjadikannya sebagai cara berpikir para proletar di Indonesia. Madilog merupakan singkatan dari “materialisme, dialektika, dan logika.� Namun, tampaknya istilah madilog dalam konteks ini lebih tepat diuraikan menjadi “materialisme, dialektika, dan ideologi�, karena buku ini, walaupun terkesan epistemologis, ternyata bersifat ideologis dan menyalahgunakan ranah epistemologi untuk menjustifikasinya.
Memang di satu sisi buku Madilog mampu memberikan pengenalan terhadap logika dengan baik. Namun tidak tentang sains. Misalnya, Malaka menulis bahwa di Mars pasti ada tumbuhan. Mungkin bisa dipahami karena pada masa itu sulit untuk mencari literatur tentang sains. Namun, paling tidak bila ia melek sains, maka sudah sepatutnya ia mengetahui sifat dasar seorang ilmuwan dan tidak menggunakan kata “pasti�, tetapi “mungkin� bila belum terbukti secara pasti. Yang paling disayangkan di sini adalah motif ideologis Tan Malaka yang membuatnya menyalahgunakan sejarah dan sains (yang bersifat epistemologis serta bebas nilai). Berikut adalah dua kritik utama saya terhadap tulisan Tan Malaka di Madilog:
1. Dialektika adalah tesis bertemu dengan antitesis menjadi sintesis. Marxis mengklaim bahwa proses ini juga berlangsung dalam dunia materialis dan tidak hanya dalam tataran ide saja seperti yang dikatakan oleh Hegel. Tan Malaka bahkan mengatakan bahwa materialisme dialektis adalah hukum alam yang berlaku dalam semua peristiwa di seluruh alam semesta, dari sejarah India sampai hidrogen dan helium. Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tesis dan antitesis menunjukkan hitam dan putih, dua hal yang saling berlawanan atau dikotomi. Tan Malaka gagal mempertimbangkan hal ini dan malah melakukan cocologi terhadap materialisme dialektis. Misalnya, Tan Malaka mengatakan Hinduisme di India bertemu dengan antitesis Buddhisme dan Jainisme menjadi sintesis. Bagaimana bisa Hinduisme dan Buddhisme dipertemukan layaknya hitam dan putih? Bukankah masing-masing agama punya karakteristik unik tersendiri? Bukankan masing-masing agama bahkan memiliki kesamaan, seperti misalnya pengurangan nafsu duniawi? Bagaimana bisa dipandang dikotomis layaknya materi dan antimateri?
Hal ini menunjukkan salah satu masalah dalam klaim bahwa materialisme dialektis adalah hukum alam. Sebagai ilustrasi lain, atom hidrogen dan oksigen bila bertemu menjadi H20. Dari sudut pandang materialisme dialektis, hidrogen akan dilihat sebagai tesis, oksigen sebagai antitesis, dan H20 sebagai sintesis. Namun, hidrogen bukan lawan dari oksigen layaknya jahat adalah lawan dari baik! Hal yang sama dengan NaCl. Natrium bukan lawan dikotomis dari klorida!
Maka dari itu, perlu diingat bahwa alam semesta sendiri tidak bersifat dikotomis, tetapi terdiri dari kontinum. Misalnya, dalam kasus aborsi, ahli hukum menuntut agar ilmuwan mampu membuat kategori dikotomis antara hidup dan tak hidup dan menentukan batas antara keduanya. Dalam sains, hal ini tak bisa dilakukan, karena dari pembuahan sampai kelahiran semuanya ada dalam kontinum. Tan Malaka padahal sudah mengetahui keberadaan kontinum ini, seperti pemaparan singkatnya tentang batas antar spesies. Tetapi karena motif ideologisnya, ia melupakan hal ini dan malah melakukan cocologi antara sains dan sejarah dengan materialisme dialektis, yang membawa kita ke poin selanjutnya.
2. Tan Malaka menyalahgunakan sains dan sejarah untuk menjustifikasi ideologi Marxisnya. Misalnya, ia mengatakan negation der negation � hidrogen dihapuskan oleh helium, salah satu contoh materialisme dialektis. Hal ini adalah abuse of science, karena dalam sains, hidrogen tidak dihapuskan oleh helium. Kenyataannya, reaksi proton-proton dalam matahari menambahkan jumlah proton dalam hidrogen sehingga menjadi helium, sehingga tidak ada yang disebut “penghapusan� di sini. Perlu ditekankan juga bahwa hukum alam tidak mempreskripsikan sekadar tesis + antitesis = sintesis, tetapi bervariasi, dari e=mc2 sampai hukum bahwa bila air mencapai suhu 100 derajat celcius akan berubah menjadi uap.
Malaka juga menyalahgunakan peristiwa sejarah. Ini penting bagi Malaka karena bila sejarah dapat dicocok-cocokan dengan materialisme dialektis, ia dapat mengklaim bahwa sejarah ini maju karena materialisme dialektis, dan salah satu bentuknya adalah kapitalis bertemu dengan antitesisnya proletar untuk mencapai sintesisnya komunisme. Akan tetapi sejarah juga ditentukan oleh banyak sekali faktor yang saling berinteraksi dan kompleks, sehingga tidak mudah bagi kita untuk membuat prediksi sejarah. Misalnya, dalam pembentukan negara, menurut Jared Diamond dalam bukunya Gun, Germs, and Steel ada banyak sekali faktor yang bermain, seperti lingkungan, keberadaan hasil tani yang berlimpah, keberadaan hewan ternak, iklim, letak, dll. Faktor ini saling berinteraksi sehingga negara besar muncul di Mesir, Mesopotamia, dan Cina, tetapi tidak di Australia. Hal ini (singkatnya) diakibatkan oleh fakta bahwa di tiga daerah pertama iklim dan lingkungannya mendukung produksi pertanian dan peternakan yang memungkinkan sebagian orang untuk tidak ikut mencari makan dan berspesialisasi dalam hal lain, sementara di Australia tidak. Sejarah peradaban-peradaban dunia bergerak bukan karena adanya satu faktor yang menjadi tesis bertemu dengan lawan dikotomisnya untuk menjadi sintesis. Tidak sesederhana itu.
Maka dari itu, sangat disayangkan bahwa Tan Malaka berusaha menyesatkan Indonesia dengan karangan bahwa materialisme dialektis adalah hukum alam. Paling tidak ia patut diapresiasi karena berusaha mencerahkan bangsa dari hal-hal yang berbau takhayul dengan sains dan logika. Namun, bagi yang ingin membaca buku ini untuk mendapat pengenalan logika dan sains, saya menyarankan buku lain yang jauh lebih bagus dan bebas nilai, seperti buku-buku Carl Sagan.
​Akhirnya. Selesai juga. Setelah melalui drama dengan penjual buku online yang ternyata menjual buku fotokopian dan halaman tidak lengkap, sekian bulan kemudian, saya menyelesaikan buku ini, yang direkomendasikan seorang dosen yang cukup dikenal di media sosial.
Tingkat keterbacaan (readability) buku ini menurut saya sangat rendah, karena saya sering sekali tertahan di satu paragraf untuk memahami maksud dari kalimat-kalimat tersebut. Entah karena saya yang kurang pintar dalam memahami kata, tata bahasa yang mungkin berbeda pada zaman saat ditulis (tahun 1940an), atau editor yang tidak membuat buku ini lebih mudah dibaca. Kalimat yang ada kadang terasa seperti transkrip kata per kata ketika seorang dosen sedang memberikan kuliah. Buku ini termasuk buku yang harus dibaca lebih dari satu putaran untuk benar-benar dipahami (bagi saya).
Terlepas dari semua itu, buku ini memang memberikan gagasan yang ingin mengganti gagasan masyarakat Indonesia yang sangat percaya pada logika mistika/supernatural dan tidak mau berusaha/berubah. Well, buku ini mengandung banyak hal yang tidak asing bagi pelajar SMA jurusan IPA atau mahasiswa pendidikan teknik, contohnya bab tentang matematika, hukum fisika, logika, dan premis-premisnya yang sangat bertentangan dengan logika mistika.
Walapun buku ini sepertinya harus dibaca berulang kali, ada beberapa hal yang dapat saya tangkap dalam putaran pertama (ditambah sedikit pencarian di Google). Mohon koreksi jika saya salah. Salah satunya adalah materialisme. Selama ini, materialisme dikaitkan dengan harta, tahta, foya-foya, dan sebagainya. Namun, di buku ini saya dikenalkan dengan materialisme yang lain, yang dipertentangkan dengan idealisme, yang tentu saja berbeda dengan idealisme yang selama ini saya tahu. Kata kunci dari materialisme adalah materi (you don't say), di mana materi atau bukti bendawi sebagai titik awal kita dalam berpikir. Sementara idealisme tentu sebaliknya, ide yang menjadi patokan. Hal-hal gaib (yang tidak ada bukti bendawi dan/atau termaterialisasi) tergolong ke dalam ide.
Setelah membaca penjelasan materialisme vs idealisme tersebut, entah kenapa saya langsung terpikir penemuan mesin uap oleh James Watt. Mesin uaplah (yang sudah ada bukti bendawi) membawa pengaruh pesat bagi kehidupan manusia hingga dapat memicu terjadinya revolusi industri, bukan sekadar ide-ide yang mungkin ada di masyarakat Inggris ketika itu. Maaf melantur. Intinya adalah Tan Malaka mengajak kita untuk "memperhatikan kenyataan bendawi menggunakan pendekatan ilmiah" dan tidak menggunakan hal-hal gaib untuk memutuskan sesuatu.
Setelah itu, dialektika dan logika. Dua hal tersebut berkaitan dengan sudut pandang dan cara berpikir kita dalam memahami sesuatu. Logika adalah ketika suatu permasalahan dapat dilihat dari sudut pandang "ya" atau "tidak". Sementara dialektika adalah ilmu berpikir kontradiksi yang digunakan ketika suatu permasalahan tidak dapat disederhanakan menjadi "ya" atau "tidak" karena harus memperhatikan berbagai aspek lainnya.
Selain tiga hal utama di atas, buku ini juga membahas agama-agama seluruh dunia, mulai dari logika mistika (dinamisme dan animisme) yang masih banyak di Indonesia hingga agama-agama besar yang banyak dianut di dunia. Tentu pembahasan agama-agama tersebut dikaitkan dengan madilog. Terlihat sekali bahwa Tan Malaka adalah seseorang dengan pengetahuan yang sangat luas (mulai dari matematika, fisika, politik, hingga filsafat) dan memiliki pemikiran yang revolusioner.
Melihat keadaan masyarakat Indonesia sekarang masih menganggap komunis, ateis, dan liberal adalah hal yang sama (saya sempat menganggap komunis sama dengan ateis, terima kasih kepada propaganda masa kecil) hingga menutup pertunjukkan Tan Malaka di Bandung beberapa waktu lalu, serta terkungkung pada logika mistika sehingga tidak tahu caranya berpikir rasional, Madilog masih sangat relevan. Tapi yah, kemungkinan orang-orang tersebut akan mendebat, "Tan Malaka kan komunis! Ateis! Tak beragama!".
Semoga dugaan saya salah.
Referensi menulis ulasan karena saya tidak paham mengenai banyak aspek filsafat dan paham-paham yang dibahas di Madilog (haha): 1. 2.
Mungkin masih banyak diantara kita yang belum tau tentang Tan Malaka. Tan Malaka adalah orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia pad sebuah buku berjudul Naar de Republiek Indonesia pada tahun 1925. Buku inilah yang kemudian dibaca oleh Bapak Proklamator kita, Ir.Soekarno dan menjadi salah satu inspirasi bagi kaum muda yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia pada masa itu. Bagi sebagian kaum akademisi dan intelektual, Tan Malaka telah dianggap sebagai the true founding father of Indonesia. Salah satunya adalah Muhammad Yamin yang menjuluki Tan Malaka sebagai "Bapak Republik Indonesia".
Ironis banget karena pergulatan politik di masa lalu, Tan Malaka diusir dari Indonesia, dia pergi keliling dunia dengan menyamarkan identitasnya agar tidak ketahuan polisi internasional, sampai akhirnya dia ditembak mati oleh Tentara Republik yang didirikannya. Tragisnya nama dia dikucilkan dari Sejarah Indonesia dan bukunya dilarang keras beredar selama puluhan tahun. Lantas buku apa sih yang dia tulis sampai dilarang keras beredar itu? Salah satu buku beliau yang paling fenomenal adalah MADILOG, yang merupakan singkatan dari Materialisme-Dialektika-Logika.
Dalam buku ini, Tan Malaka mengajak kita semua untuk selalu berpikir dengan menggunakan logika, berdialektika dengan cara berpikir yang rasional, terstruktur, dan selalu mengacu pada bukti sebelum akhirnya sampai pada kesimpulan. Kurang keren gimana lagi coba pesan yang ingin disampaikan sang pendiri bangsa ini kepada kita semua??
Inilah pesan yang terlupakan dari founding father Indonesia kepada kita semua yang telah mewarisi negara yang dia bangun dengan segala pemikiran, perjuangan, dan bahkan dengan nyawanya sendiri.
Terus terang buku ini memang bukan buku yang mudah untuk dibaca, apalagi bahasa yang digunakan udah agak jadul. Pada jaman itu memang konsep tulisan berbahasa hampir tidak ada satupun yang mudah untuk dicerna oleh kita sekarang yang hidup di era modern. Tapi tetap saja, menurut saya, kita semua (harusnya sih) tetap wajib untuk memahami cita-cita luhur dari orang yang berkontribusi besar membangun bangsa Indonesia, yaitu dengan mengutamakan logika dan rasionalitas dalam berdialektika.
written in a time of colonial oppression, this book fails to reach its best possible shape; and although not quite well-edited, this text is the most extraordinary milestone in the history of modern Indonesian thought
DNF this after 38% progress. This book uses old-fashioned Indonesian, making it very difficult for people today to read. It would be better if a publisher were willing to reword it into a more contemporary language.
Terlepas dari term kanan kiri depan belakang dan menilik proses penyusunan tanpa adanya referensi dan hanya mengandalkan ingatan keledai belaka, buku ini salah satu opus terbaik yg dilahirkan anak bangsa pada zamannya... merentang dan menyajikan telaahan penulis tentang masalah2 dan solusi yang dianggap suit untuk kondisi tanah air tumpah darah yang sangat dicintainya yg pada akhirnya membunuhnya. Konon term 'tanah air ku tumpah darahku' pertama kali di perkenalkan oleh beliau ...
Setelah membacanya dua kali, kurang lebih resepsi saya terhadap magnum opus beliau masih sama.
Dalam buku "Madilog", terpampang sangat jelas bahwa penulis ingin mengubah pola pikir masyarat indonesia yang menurut penulis "terlalu bergantung pada takdir". Pola pikir ini membahayakan, karena pola pikir seperti ini � menurut penulis � dapat menghambat indonesia kepada kemajuan. Dengan memahami konteks historis dari penulis, tidak mengherankan. Kemudian, menurut penulis, pola pikir ini disebabkan oleh "logika mistika" yang berada di masyarakat. Untuk menghapus pola pikir tersebut, Tan Malaka menulis buku berjudul "Madilog" yang mengajarkan cara berpikir "Materialisme, Dialektika, dan Logika". Dengan buku ini, penulis berharap dapat mengubah cara berpikir masyarakat indonesia dari "logika mistik" ke "Madilog".
Dalam mengkritik "logika mistika", sebenarnya, penulis menyinggung agama dalam buku ini. Mungkin kurang jelas bagi pembaca, karena kadang penulis 'loncat' dari satu topik ke topik lain, membuat bukunya terkesan berantakan (walaupun saya mengerti kondisi penulis pada saat penulisan). Berhubung saya lihat sangat sedikit resepsi yang membahas Tan Malaka dari sudut pandang metafisika/teologisnya, maka saya akan membahas beberapa kritik Tan Malaka terhadap "logika mistika", yang sebenarnya kritik terhadap pola pikir "agama".
Sebelumnya, saya akan membagi pembaca buku ini menjadi dua tipe, yaitu orang awam dan orang 'ahli'. Orang 'ahli' di sini � berdasarkan pembagian Tan Malaka � mencakup 'ahli filsafat kolot' dan 'ahli agama'. Dengan pembagian tersebut, mari kembali ke resepsi buku "Madilog".
1.Kritik terhadap Dewa Rah" Pada halaman 38, Tan Malaka menyinggung dan mengkritik Dewa Rah yang konon dapat menciptakan sesuatu hanya dengan firman saja. Tan Malaka kemudian menganggap bahwa kepercayaan seperti itu hanya omong kosong belaka. Penulis yang pintar, ia mengetahui bahwa tulisannya akan diinterpretasikan secara berbeda oleh orang awam dan orang 'ahli'. Bagi orang awam, dia akan setuju oleh kritik penulis tanpa mengetahui kenapa penulis membahas Dewa Rah. Akan tetapi, sangat jelas bagi orang 'ahli' bahwa Tan Malaka sedang membahas Tuhan dalam agama samawi. Ingat 'Kun Faya Kun'? Ya, penulis sedang membahas hal tersebut. Syahdan, penulis menganggap kepercayaan kepada hal layknya Dewa Rah tidak logis jika dihadapkan dengan cara pikir 'Madilog'. Ia menggunakan argumen abduktif untuk menunjukkan kerancuan kepercayaan Dewa Rah. Ia mengatakan hubungan antara Tuhan dan Alam hanya ada 3 kemungkinan: 1. Antara alam lebih kuat dari Tuhan; 2. atau Tuhan dan alam sama kuatnya; 3. atau Tuhan lebih kuat dari alam. Sangat jelas bagi siapapun yang memiliki akal sehat, bahwa 1 dan 2 tidak mungkin terjadi dan tidak logis. Namun, nomor 3 lah yang dibahas oleh Tan Malaka secara serius, perbolehkan saya untuk mengkritiknya.
Tan Malaka mengatakan kemungkinan nomor 3 itu tidak logis, karena menurutnya, alam semesta ini mempunyai hukum alam, yaitu "hukum evolusi" (Law of Evolution). Dalam kata lain, alam semesta dibentuk secara progresif. Kemudian, penulis mengatakan 'Dewa Rah' mustahil lebih kuat dari alam karena dalam sejarah, hukum alam tidak pernah berhenti menjadi valid/sahih. Ia juga mengatakan alam itu terbentuk secara progresif, tidak seperti 'Dewa Rah' yang membentuk alam secara sekejap saja. Sangat jelas bagi semua orang yang mempunyai akal sehat bahwa argumen penulis sangat-sangat rancu. Hanya karena 'Dewa Rah' bisa membuat alam dengan perkataan, bukan niscaya berarti 'Dewa Rah' membuat alam secara sekejap. Proses pembuatan alam itu bisa dalam sekejap maupun progresif � Dengan demikian, tidak ada kontradiksi yang niscaya antara pembuatan alam oleh 'Dewa Rah' dan 'Law of Evolution'. Dengan demikian, penulis melakukan kesalahan berfikir formal, yaitu non-sequitur (kesalahan dalam pengambilan kesimpulan). Cukup ironis, padahal penulis membuat buku logika hanya berdasarkan ingatan saja.
2. Kritik terhadap Tuhan dan sebab-akibat Pada halaman 245, penulis mengkritik 'ahli filsafat kolot' dan 'ahli agama' yang mencemarkan kakinya kepada ilmu sains/ilmu bukti. Ia mengkritik orang 'ahli' yang menggunakan hukum kausalitas untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Penulis mengatakan bahwa orang 'ahli' menggunakan premis "segala hal pasti ada sebabnya" untuk membuktikan Tuhan menyebabkan alam semesta. Penulis lalu mengatakan bahwa kepercayaan ini rancu, karena jika semua akibat pasti ada sebabnya, lalu siapa yang menyebabkan Tuhan? Dalam hal ini, penulis benar. Akan tetapi, jika saja penulis membaca karya-karya orang 'ahli' yang dia sebut kolot itu secara terbuka (open-minded), bisa jadi penulis akan paham mengapa "sebab pertama" itu disebut Tuhan. Mereka sebenarnya mengatakan "segala hal yang mulai muncul pasti ada sebabnya", bukan "segala hal yang muncul pasti ada sebabnya". Premis inilah yang digunakan dalam karya 'ahli agama' Al-Ghazali. Jadi, � mengabaikan kebenaran premisnya � mereka mengatakan sesuatu yang tidak mulai muncul � seperti Tuhan � itu tidak membutuhkan sebab. Dengan demikian, penulis "Madilog" telah melakukan kerancuan logika non formal, yaitu straw-man (menyerang argumen yang tidak dibuat oleh pembuat argumen). Menariknya, salah satu orang yang menggunakan hukum kausalitas untuk membuktikan Tuhan adalah Aristoteles, sang 'ahli logika', sang filsuf yang dibanggakan oleh Tan Malaka dalam bukunya. Hal ini membuat saya penasaran, apakah Aristoteles juga dianggap sebagai "ahli filsafat kolot" oleh Tan Malaka? Don't know.
Syahdan, pembahasan terhadap Dewa Rah dan sebab-akibat hanyalah beberapa pembahasan agama dari penulis. Sebenarnya, masih banyak pembahasan agama dalam buku Madilog yang mempunyai kerancuan logika, kebanyakan kerancuan logika non-formal. Akan tetapi, dua pembahasan tersebut hanyalah cuplikan dari buku Madilog yang menunjukkan kekurangan ilmu penulis terhadap hal yang dikritiknya.
Tan Malaka merupakan individu yang sangat pintar dan salah satu pahlawan negara kita. Namun, sebagai pembaca, kita tetap harus bersikap kritis dan skeptis terhadap karya seseorang; walaupun itu karya pahlawan negara sekali pun.
We listen we don't judge: In my opinion, the book is highly —and being progressively � overrated. Bukunya di branding sebagai buku yang mengajarkan pola pikir untuk melawan 'logika mistika', yaitu logika yang mengatribusikan segala hal kepada sihir, setan, hantu, dsb (begitulah yang saya pikir). Akan tetapi, nyatanya, sedikit sekali penulis membahas tentang logika mistika. Saya kira penulis akan membahas kerancuan pola pikir sebab-akibat masyarakat indonesia yang selalu mengatribusikan segala hal kepada sihir, setan, hantu, dsb dan menunjukkan bahwa hal-hal seperti itu tidak logis di mata logika dan sains � ternyata tidak. (agak sedih karena saya tertarik terhadap kritik-kritik jenis tsb).
Imo, jika tujuan membacanya itu ingin mengetahui cara pikir dengan baik dan benar, lebih baik membaca buku yang berfokus terhadap logika secara langsung daripada membaca buku ini. Nonetheless, it was a good book. Apalagi buku ini ditulis dalam 8 bulan dan setengahnya hanya ditulis murni dengan ingatan. Penulis juga menyisihkan 3 jam waktunya setiap hari untuk menulis magnum opusnya. Secara tidak langsung, buku ini menunjukkan bahwa penulis merupakan orang yang mempunyai memori kuat, berpengetahuan luas dan sangat disiplin. Mengingat sifat-sifat tersebut, saya harap saya sendiri bisa menjadi seperti beliau dan saya harap kita bisa mempunyai lebih banyak "Tan Malaka" di negeri ini,
Membebaskan pikiran. ini yang kudapat dari buku ini. Sebuah manual untuk menggunakan logika berdasarkan materialisme dan dialektika. Yang menarik dari buku ini adalah penulisannya yang dibawah tanah dan bahan2 yang digunakan cukup minim untuk ukuran sebuah buku filsafat berpikir. Juga ditulis pada masa sangat dibutuhkannya sebuah buku ttg cara berpikir, ditengah masyarakat yang baru merasakah sebuah kemerdekaan. Masa penuh euforia akan kemenangan, tanpa memikirkan hendak kemana bangsa ini mau dibawa. Sebuah buku yang membebaskan, tapi akan menjadi belenggu kalo kita terus menerus menjadikannya manual berpikir tanpa mengembangkannya sesuai kondisi jaman.
!Mengandung Spoiler! Di Twitter kemarin lagi rame + viral mbak2 bawa buku Madilog, tak ingin ketinggalan, saya mau mencopas tulisan saya di paltform ini.
Buku ini sudah jadi list buku yang ingin saya baca sejak dulu. Bermula dari postingan Prof. Iwan, dosen matematika yang bikin buku sama temen saya, Adit Phoenix. Nah, Prof. Iwan selalu dan selalu bilang “Betapa beruntung republik ini punya Bapak Bangsa seperti Tan Malaka yang menghargai bermatematika, berlogika, dan bernalar.� Dari kalimat itu bikin saya kepincut untuk baca bukunya Tan Malaka saking penasarannya. Buku ini saya selesaikan (16 Juni 2021) baru2 ini mungkin nyaris setahun proses membaca yang tidak rutin juga sebenarnya. Ketika saya sudah menyelesaikan buku ini, secara kebetulan saya menemukan twit Historia dengan tautan blognya menyebut bahwa Tan Malaka adalah orang minang. Menarik, menambah banyak daftar founding fathers dari daerah tersebut yang ‘baru� saya baca literaturnya antara lain Mohammad Yamin(serial Tempo), Hatta (Otobiografi) dan Tan Malaka (buku yang ditulis sendiri, Madilog).
Madilog adalah singkatan dari Materialisme, Dialektika dan Logika. Berkutat di 3 tema besar itu sebenarnya. Saya seperti biasa menulis sambil mengais-ngais sisa yang tersimpan di otak saya. Di awal2 bagian menyebutkan perbedaan ketiga sebutan itu. Yang menjadi penting adalah bagaimana ia mendefinisikan definisi. Definisi yang saya tangkap harus mengandung pengertian yang dapat menjelaskan isi dan maksud sesuatu, bisa juga dengan negasi. Misal Lapar, adalah tidak kenyang seperti itu. Contoh lain, Manusia adalah hewan yang berpikir. Ada dua kata kunci yakni hewan dan berpikir.
Selanjutnya Tan Malaka menjelaskan pengertian dari proses deduksi, induksi dan campuran. Juga apa perbedaan antara pengetahuan, ilmu dan hukum. Bagian ini mengingatkan saya pada pengalaman semasa kuliah di fisika. Begini, di fisika ada 2 pendekatan. Mengamati dulu baru menghasilkan persamaan. Persamaan dulu baru mengamati kemudian. Yang pertama, mengamati dulu baru menghasilkan persamaan contohnya adalah persamaan gas ideal, 3/2 nkt itu, sejauh ingatan saya, percobaan itu bersifat empirik (berdasarkan pengalaman) barulah setelah berkali2 percobaan didapatkan perumusan gas ideal yang sangat ideal itu. Meski perlu dicatat di kemudian hari ada kelanjutan koreksi rumus tersebut(yang baru saya tahu ketika mengambil kelas fisika statistik), yang ternyata sangat panjang penurunannya. Kedua, rumus keluar dulu baru dibuktikan dengan pengamatan. Ini lebih susah misalnya Einstein yang sebenarnya dia bukan hanya merenung 'gedanken experiment� lalu muncul rumus di kepalanya. Dia pun harus standing on the shoulders of giants dengan banyak membaca jurnal terdahulu dan terbaru ditambah sedikit “berpikir kreatif� barulah ia bikin teori relativitas umum. Pengamatan yang bikin haru biru terjadi ketika gerhana matahari total, yang diamati di pulau mana itu sejalan dengan teorinya bahwa cahaya itu melengkung ketika berada pada massa objek yang sangat besar. Banyak yang berpikir apa gunanya teori relativitas umum bagi kita manusia modern sekarang? ternyata teori itu berguna untuk pengoreksian GPS kita, jika tidak ada koreksi, kita bisa tersesat sejauh 10 km!
Menariknya Tan Malaka yang menulis buku ini di tahun 1943 (zaman dijajah Jepang), ia membaca teori relativitas Einstein ini yang baru keluar 1920-an. Artinya ia baca jurnal yang kita tahu saat itu pasti susah sekali aksesnya. Ia bilang soal Einstein dan mencoba menjelaskan lewat kata-katanya, yang saya tangkap merangkum bab teori relativitas khusus. Apa beda dengan teori relativitas umum? beda sekali, teori relativitas khusus hanya menjelaskan di bagian “pengamat dan bukan pengamat�. Di Newtonian tidak dijelaskan mana pengamat dan bukan pengamat, juga bersifat deterministik. Di Teori relativitas khusus, unsur pengamat dimasukkan. Teori relativitas khusus terdiri dari dua postulat, pertama, setiap hukum fisika selalu invarian (sederhananya: identik) dalam semua kerangka inersia (kerangka inersia: kerangka tanpa percepatan). Kedua, Kecepatan cahaya dalam ruang hampa adalah sama untuk semua pengamat, terlepas dari gerakan sumber cahaya atau pengamat.
Tan Malaka menjelaskan itu, menurut saya itu adalah hal yang sangat luar biasa karena beliau adalah founding fathers yang tidak hanya kuat di bidang sosial, namun juga sains. Baiklah, saya jadi setuju dengan opini Prof. Iwan tadi. Lalu, ia berkali-kali sejak awal bukunya menjelaskan bahwa ia menulis Madilog seperti menulis ulang catatannya selama ini. Katanya, ibarat jembatan keledai, satu terpaut dengan yang lain yang mungkin ada yang tidak akurat. Artinya, bisa jadi ada kekeliruan dalam tulisannya sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Dari bagian tulisan di bawah ini saya menulis dengan membuka notes yang sudah saya catat selama proses membaca.
Pertama soal batas hubungan sains. Tan Malaka menyoroti soal sains yang makin lama makin terspesialisasi. Ketika sains makin terspesialisasi akan mengakibatkan ilmu yang satu tidak lagi mengetahui hubungan dengan ilmu yang lainnya. Dengan begitu maka scientist, si ahli mungkin kehilangan hutan karena sangat memperhatikan pohon-pohon saja.
Lanjutnya, ia berpendapat betapa pentingnya mempelajari sains meski untuk para ahli sosial. Bagi pemikir sosial, walaupun dialektika dan logika diutamakan, tetapi cara berpikir yang dipakai oleh ahli matematika juga tidak percuma kalau diketahui. Seperti pemain sepak bola yang tiada rugi kalau dia mempelajari tenis atau berenang. Begitulah juga pemikir sosial pada siapa Madilog dipusatkan akan bertambah kecerdasannya kalau ia mempelajari dan memahami cara yang dipakai matematika.
"Seorang bertubuh baik dan kuat kalau sudah dilatih dengan silat yang baik akan berbeda pandang langkah sikap dan tangkisannya terhadap serangan lawannya daripada ketika ia masih hijau, belum dilatih.
Begitu juga dengan otak yang sudah dilatih oleh matematika, lain sikapnya terhadap suatu persoalan daripada otak mentah. Tiada percuma orang barat mendasarkan sekolah rendah dan menengah pada matematika."
untuk review saya kurang lebih seperti review yg disampaikan pembaca lainnya. karena banyak sekali saya baca review yg disampaikan oleh teman teman tentang buku ini.
saya membutuhkan hampir 3 kali untuk membaca ulang buku ini untuk bisa memahami secara menyeluruh ttg materialisme, dialektika, & logika yg dimaksudkan oleh tan malaka. karena saya menganggap bahasa tulisan dalam buku ini agak sulit untuk di cerna.
di kolom review ini saya hanya ingin mengapresiasi Tan Malaka. seorang pria yg terusir dari negara sendiri, terpaksa membuat pelarian ke berbagai negara, hingga ketika kembali ke indonesia ia tetap sering berganti ganti nama dan menyembunyikan identitasnya. dalam pelariannya, ia menulis. dan perjuangannya dalam menulis sangat harus diapresiasi. buku buku yg menjadi referensi tulisannya terpaksa ia buang. bagaimana ia menggunakan metode jembatan keledai, ingatannya yg kuat membuat penanya tidak ragu untuk digoreskan di kertas. dan pada akhirnya buku madilog ini menjadi salah satu buku yg sangat bagus saya pikir.
Butuh dua kalender untuk menyelesaikan buku ini. Madilog yang terbitan Narasi ini menurut saya seperti buku yang asal terbit saja. Banyak kesalahan ejaan yang lolos begitu saja. Sebagai contoh kecil, kata-kata seperti 'raja' dan 'saja' kadang membuat kening berkerut antara apakah artinya sesuai dengan ejaan masa kini atau memang ditulis ulang begitu saja sesuai ejaan lama (yang masing-masing seharusnya menjadi 'raya' dan 'saya'). Untuk sebuah konsep pemikiran, jelas sekali Madilog merupakan sebuah tulisan yang sangat mengagumkan. Apa lagi mengingat pengakuan Tan Malaka sendiri yang menuturkan penyususan buku ini dilakukan tanpa referensi. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi karena pada waktu itu bukanlah hal yang mudah mendapatkan buku di negeri yang masih serba terbatas. Saya akan sangat bahagia seandainya saja buku ini diterbitkan ulang dengan proses editing yang lebih ketat.
Madilog merupakan singkatan dari Materialisme, dialektika dan logika. madilog merupakan cara panduan berpikir yang realistis,pragmatis dan fleksibel. pandangan kebudayaan minangkabau yang umum berlaku di masa muda Tan membuatnya memahami dengan baik dinamisme barat mauupun minangkabau didalam suatucara pandang terhadap dunia yang terpisahkan.
Madilog bermaksud Materialisme, Dialektika dan Logika. Apa yang diperkatakan oleh tokoh ini bukanlah perkara luar biasa yang secara umumnya menyentuh aspek-aspek kehidupan sama ada sains, fizik, biologi, matematik, falsafah, adat, kasta, agama, sosial, politik, sastera, budaya, ekonomi, geografi, sejarah, kolonialisme dan banyak lagi. Yang luar biasanya ialah penulis kuat membaca, memahami dan menulis sebaik ini dan diterbitkan sendiri pada tahun 1943 (kependudukan Jepun di Asia Tenggara semasa Perang Dunia Kedua) dalam keadaan bersembunyi di Pantjoran, Batavia.
Beliau mengatakan fikirannya diperoleh semasa belajar di Eropah dan beliau mengangkat idea-idea Karl Marx, Friedrich Engels dan Friedrich Hegel. Di akhir penulisan, beliau juga menyentuh tentang semangat perjuangan Jose Rizal. Saya tertarik apabila beliau menyebut Tanah Malaka bagi merujuk Semenanjung Malaysia (kini).
kagum aku dengan manusia bernama tan malaka ni !! serius !! berapa banyak manusia melayu genius di alam purba ?? tan malaka mungkin seorang daripadanya, atau mungkin dia adalah satu-satunya....
Hari ini adalah hari kelahiran Tan Malaka, 2 Juni 1897. Tan Malaka adalah tokoh kontroversial dalam sejarah Indonesia. Bagi orang Indonesia, sangat sulit untuk memberikan penilaian terhadap Tan Malaka secara obyektif. Mungkin hanya orang asing seperti Harry A. Poeze yang bisa menilai secara independen, persis seperti hanya orang asing seperti Peter Carey yang bisa independen menilai seorang Diponegoro. Orang seperti Poeze atau Carey butuh lebih dari empat puluh tahun untuk bisa menilai seseorang dari berbagai sumber referensi, itu pun rasanya belum selesai.
Penilaian seseorang terhadap segala sesuatu memang berpotensi bias, tergantung pada posisi mana ia berada. Mungkin ini juga yang memotivasi Tan Malaka untuk menulis Madilog (1943) karena dalam pandangannya banyak orang punya wawasan yang sempit, orang butuh sebuah cara pandang yang obyektif dan tidak bias, kurang lebih menurut Tan Malaka punya pandangan dunia (Weltanschauung). Madilog mungkin buku paling penting dari Tan Malaka selain Menuju Republik Indonesia (1925) dan Aksi Massa (1926).
Seorang Indonesia seperti Ignas Kleden membandingkan Madilog seperti buku The Open Society and Its Enemies (1945) Karl Popper. Seorang Franz Magnis-Suseno membandingkan Madilog seperti karya Dialectics of Nature (1883) Friedrich Engels. Popper dan Engels adalah filsuf besar pada jamannya, artinya kurang lebih Tan Malaka juga memiliki keluasan berpikir sekelas seperti filsuf besar lainnya.
Sebagai sesama filsuf besar, Tan Malaka memang layak disandingkan dengan Karl Popper. Karl Popper menulis The Logic of Scientific Discovery (1934) yang merupakan buku paling wajib bagi metode penelitian, sama seperti Tan Malaka menulis Madilog. Karl Popper juga menulis The Open Society and Its Enemies sebagai buku politik, mirip seperti buku politik Menuju Republik Indonesia dan Aksi Massa.
Sebagai mana pemikir besar lainnya, yang tidak lepas dari kontroversi mulai dari Descartes vs Bacon, Einstein vs Bohr, Newton vs Leibniz bahkan Karl Popper vs Thomas Kuhn The Structure of Scientific Revolutions. Pemikiran Tan Malaka dalam Madilog juga seratus persen salah jika dilihat dari sudut pandang yang lain.
Berdasarkan SK Presiden RI No 53/ 1963, Tan Malaka adalah seorang pahlawan nasional, gelar ini sampai sekarang belum dicabut. Namun membaca buku-buku Tan Malaka, saya paham kenapa TNI dan pemerintah melarang peredaran buku-buku Tan Malaka, termasuk menempatkan Tan Malaka sebagai sosok yang kontroversial.
Madilog sendiri adalah sebuah buku yang ditulis selama delapan bulan, dari Juli 1942 sampai Maret 1943. Buku ini cukup tebal dengan jumlah 539 halaman atau sekitar 152,437 kata. Buku ini ditulis dalam masa penjajahan Jepang dimana Tan Malaka menuliskannya secara sembunyi-sembunyi, jadi tentunya secara kualitas tentunya sangat jauh dengan tulisan karya filsuf besar yang menulis dengan tenang di rumah dengan akses perpustakaan besar.
Karena di tulis pada tahun 1942 banyak fakta sejarah yang menarik seperti penduduk China yang pada waktu itu hanya berjumlah 400 juta jiwa atau jumlah penduduk Hindia Belanda 70 juta jiwa. Di luar itu cara pandang Tan Malaka mungkin tidak terlalu ilmiah seperti kehidupan di Mars dan atau tulisan mengenai kebudayaan Asia yang menghabiskan hampir setengah bagian dari buku.
Translation: Today is the birthday of Tan Malaka, June 2, 1897. Tan Malaka is a controversial figure in Indonesian history. For Indonesians, it is very difficult to judge Tan Malaka objectively. Perhaps only foreigners like Harry A. Poeze a Dutch who can judge independently, just like a British like Peter Carey who can independently appraise Diponegoro. People like Poeze or Carey need more than forty years to be able to judge a person from multiple sources of reference, even that does not seem finished.
A person's judgment of everything is potentially biased, depending on where he or she is. Perhaps this also motivated Tan Malaka to write Madilog (1943) because in his view many people have narrow insights, people need an objective and unbiased view, more or less according to Tan Malaka's worldview (Weltanschauung). Madilog may be the most important book of Tan Malaka besides Toward the Republic of Indonesia (1925) and Mass Action (1926).
An Indonesian like Ignas Kleden compares Madilog like The Open Society and Its Enemies (1945) Karl Popper. A Franz Magnis-Suseno compares Madilog like the work of Dialectics of Nature (1883) by Friedrich Engels. Popper and Engels was the great philosopher of his time, meaning that Tan Malaka was also about as much a class as any other great philosopher.
As a great philosopher, Tan Malaka is worthy juxtaposed with Karl Popper. Karl Popper wrote The Logic of Scientific Discovery (1934) which is one of the most important books for research methods, just as Tan Malaka wrote Madilog. Karl Popper also wrote The Open Society and Its Enemies as a political book, much like a Tan Malaka's political book Toward the Republic of Indonesia and Mass Action.
Similar with other great thinkers, who can not escape the controversy such as Descartes vs. Bacon, Einstein vs. Bohr, Newton vs. Leibniz even Karl Popper vs. Thomas Kuhn The Structure of Scientific Revolutions. The thought of Tan Malaka in Madilog is also one hundred percent wrong when viewed from another perspective.
Based on Presidential Decree No. 53/1963, Tan Malaka is a national hero, this title has not been revoked. But reading Tan Malaka's books, I understand why the TNI and the government banned the circulation of Tan Malaka's books, including placing Tan Malaka as a controversial figure.
Madilog itself is a book written for eight months, from July 1942 to March 1943. This book is quite thick with the number of 539 pages or about 152,437 words. This book was written during the Japanese occupation where Tan Malaka wrote it secretly, so of course, the quality is far from the writings of the great philosopher which writes quietly at home with access to a large library.
Because written in 1942 many interesting historical facts such as the population of China which at that time only amounted to 400 million people or the population of the Netherlands East Indies 70 million people. Beyond that perspective, Tan Malaka may not be as scholarly as his writing on the life on Mars and or the writings on Asian culture that spend almost half of the book.
Bacaan bagus untuk para pemuda yang ingin mengenal lebih jauh pemikiran Tan Malaka mengenai gagasan kebangsaan.
Lumayan memakan banyak waktu untuk membaca dan memahami buku ini, terlebih lagi gaya penulisan masih memakai ejaan lama dan ada beberapa kesalahan editorial. Tan Malaka di masanya yang termasuk jenius dan punya visi yang besar untuk bangsa ini, berusaha melepaskan Indonesia dari belenggu pemikiran mistik dan menunjukkan MADILOG sebagai senjata (alat) untuk maju terutama dalam hal berpikir.
Kita dibawa secara runut perkembangan dari kepercayaan mistik yang masih melekat di sebagian masyarakat Asia (khususnya Indonesia) hingga ke zaman modern yang mengedepankan logika dan sains yang telah diterapkan di dunia barat.
Secara umum beberapa referensi sudah ada yang tidak relevan lagi (terutama di bagian logika dan turunan teorinya), namun cukuplah menggugah kita bahwa di masa itu ada seorang pemikir yang sudah sangat matang di zaman yang serba kurang itu (terutama dalam mencari pustaka).
Saran untuk yang akan membaca, diharapkan sudah punya bekal pemahaman mengenai agama sendiri, logika, filsafat sebelumnya agar bisa dengan mudah menyerap maksud penulis yang kadang-kadang tersirat untuk dipahami.
Buku ini adalah sebuah "Masterpiece" seorang Tan Malaka. Macan Pemikiran yang terlahir dari Pandan Gadang ini membuktikan bahwa seorang anak dusun pun mampu menjelajahi dunia fana ini dalam artian sebenarnya, lewat perjalanan fisik maupun lewat pemikirannya yang liar dan out of the box. Kampung halamannya yang berdekatan dengan rumah kelahiran saya membuat saya sangat mengerti bagaimana keadaan latar belakangnya Tan dalam konteks sosial budaya kehidupannya meski dalam ruang waktu yang agak sedikit berbeda. Tapi secara garis besar saya dapat merasakan beban bathin yang dialami Tan.
Bagi saya sindiran Tan dalam Logica Mystica dengan kata "Ptah" itu adalah sebuah sindiran besar bagi cara pikir orang Minang dan Indonesia secara umum. Apalagi di jaman kehidupannya penulis. Meski berat dan butuh konsentrasi untuk membacanya, karya ini adalah karya yang sangat patut dibaca, bukan cuma sekali, harus berulang kali. Butuh pendalaman yang benar-benar mendalam untuk mengerti Tan secara keseluruhan. Dengan ini motto "tak cukup hanya sekali" rasanya patut disandingkan dengan buku ini.
298.... keliata na pada halaman inilan sha menyerah untuk membaca na. bukan karena isi buku na tapi lebih pada alasan editorial. jika melihat bagian depan yang menuliskan nama editor, jadi berpikir... nah, tu ada kan editor na? kenapa hasil na berantakan banget gini???
kecewa? tentu. pada dasar na buku ini menarik. mengajak kita untuk kembali bersentuhan dengan logika kita. bagaimana mengambil kesimpulan dari fakta yang ada. besar ke kecil, atau kecil ke besar. benda untuk menarik kesimpulan atau kesimpulan yang menjadikan benda itu ada. mewujud dalam ide.
ide yang utama atau benda yang ada lebih dulu? teka teki menarik untuk ditelusuri jika tidak tersandung atau bahkan terperosok pada satu masalah. editorial. sandungan-sandungan kecil yang ada sebelum na sempat menghambat perjalanan mencari jawab untuk menelusuri ide tan malaka ini. namun semakin lama tak hanya tersandung tapi terjungkal dan terjerembab pada rasa... kecewa. dan... akhir na pada halaman 298, sha putuskan... hentikan saja membaca na.
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.�
Have you ever heard the quote above? It was Tan Malaka's. And the book I'm currently reading right here is a 462-page full of his critical, if not brilliant, way of thinking and thought-provoking ideas.
Reading his works (especially this one) has convinced me in a way which Ann Leckie exactly phrased it on her book, Ancillary Justice. That, “Thoughts are ephemeral, they evaporate in the moment they occur, unless they are given action and material form. Wishes and intentions, the same. Meaningless, unless they impel you to one choice or another, some deed or course of action, however insignificant. Thoughts that lead to action can be dangerous. Thoughts that do not, mean less than nothing.�
Untuk sekedar mempelajari filsafat dialektika, materialisme, dan logika terlalu banyak pengulangan dari bab per babnya, tetapi mungkin jaman pertama kali buku ini terbit (masih sedikit literatur filsafat terbitan penulis Indonesia) maksud tan malaka adalah memberikan contoh penerapan madilog tersebut sebanyak-banyaknya agar para pembaca juga dapat memahami dengan matang. Kelebihan buku ini banyak contoh-contoh mengaplikasikan madilog yang justru diperluas dan menjadi bahan pengetahuan tambahan tersendiri terlepas dari topik utama madilognya.
Tata bahasa penulisan sangat bahasa sehari-hari tempo dulu. Membaca buku ini justru membuat saya kagum terhadap Tan Malaka sendiri. Seorang pemikir besar asli Indonesia dengan bekal literatur pikiran yang sangat luas yang tumbuh dijaman kolonial (dimana pengetahuan sangat sulit didapat).
Pros: - Kamu akan menemukan makna dan arti dari sebuah hidup di Bumi Indonesia - Kamu akan memahami bagaimana segala sesuatu dunia ini bekerja. (matter in movement, dialektika, perlantunan yang terjadi di masyarakat, dll) - Kamu akan tahu kenapa sains dan sejarah dari peradaban manusia sangat penting untuk peradaban masa ini dan masa mendatang
Cons: - Penggunaan bahasa yang terkadang sulit dipahami. Butuh kesabaran dan ketelatenan untuk memahaminya - Nothing
Hasil nyulik dari rumah seorang kawan. Di Belakangnya ada penutup dari Ronny. Saya suka istilah dia tentang pluralisme versi kapitalis. Selebihnya membaca buku ini membuat saya memahami keteguhan sesosok individu yang berani berpikir merdeka dan membuang segala kultus.
Dalam seratus tahun mungkin hanya ada 1 orang macam ini.
bahasa lama, cukup sulit dimengerti. 50% isi tentang materialisme dan logika sudah diajarkan di sekolah & kampus, 50% sisanya tentang dialektika dan konsep berpikir Tan Malaka membuka wawasan tentang bagaimana orang barat, cenderung kiri, berpikir. Buat orang Islam harus sudah pernah ngaji/baca buku akidah dulu, agar buku ini jadi manfaat, bukan menyesatkan.
"Madilog saya maksudkan terutama ialah cara berpikir," Kata Tan Malaka dalam bukunya Madilog.
Buku mahakarya sekaligus magnum opus dari Tan Malaka, founding father Indonesia yang namanya sama bahkan sejajar dengan Soekarno dan Hatta.
Apa yang melatarbelakangi Tan Malaka dalam menulis buku ini, adalah dari perhatiannya akan logika mistika yang menyebar di Indonesia pada masanya, pun hingga kini juga masih dirasa terdapat feses mistis-nya.
Bagi Tan Malaka, logika mistika yang pernah dipercayai oleh mayoritas masyarakat Indonesia, dapat menghambat kemajuan, terutama dalam bernalar dan berpikir secara sehat.
Melalui buku Madilog, Tan Malaka mencoba ingin menghapus kabut mistis yang menyelimuti pandangan masyarakat yang sudah mendarah daging itu.
Madilog baginya merupakan cara berpikir yang bertolak dari rasionalitas, serta yang mengedepankan sisi empiris disertai bukti-bukti valid, agar tidak menyesatkan sistem bernalar.
Bagi Tan Malaka, apa yang disebut sebagai logika mistika merupakan pengecilan sudut pandang, sebab hanya berkutat pada hal mistis yang notabene nya tidak disertai bukti, melainkan klaim pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu pengetahuan murni.
Dan, di dalam buku Madilog, Tan Malaka mengajarkan bahwa pandangan Materialisme, Dialektika dan Logika ini, sangat baik apabila disandingkan dengan ilmu pengetahuan seperti sains, atau bahkan filsafat itu sendiri.
Sebab Madilog, juga mengedepankan pencarian sebab akibat dan negasi antar ide secara berulang di dalam iklim pemikiran rasionalitas, supaya mendapatkan pengetahuan baru secara utuh.
Pemikiran Madilog, walaupun namanya Materialisme. Tan Malaka menegaskan bahwa bukan Materialisme seperti ketergantungan kepada benda, melainkan dari sebab dan akibat dan asal muasal apa yang dinamakan benda, yang diyakini melebihi gagasan ide dan sejenisnya.
Woii!! semuanya masuk akal kenapa beliau disebut the real bapak indonesia raya,
in reality i would never read this book ever again, in my invisble string there is no way for me getting addicted to non fiction near filsafat begini?! tapi dari awal aku udah tertarik buat baca lagi abisnya pak kholiq bilang kalo buku ini born for knowledgment, daripada harus “dimusuhin�.
aku ngabisin buku ini luama banget, sekitar 3 bulan sejak kak alan ngasih buku ini (in note: karena ku sambi-sambi, kuliah, dsb), TAPI somehow aku stop karena emang berat� berat bukan karna gabisa dipahamin, tapi proses absorbs ke otak yang suprisingly make sense tapi ironi nya, kita harus nolak... PAHAM GA?? HAHAH. makanya kenapa, buku ini disebut musuh masyarakat (pd jamannya), karna emang itu fakta yang seharusnya, sesuatu yg justru memperkuat fakta kalau selama ini masyarakat indonesia memang naif
terus juga, dr segi politically malah nggak ada (??) trus kenapa buku ini dilarang bgt?? karena condong ke sayap kiri kah (??) menurutku engga juga.... buku ini di bredel abis-abisan, karena bobroknya kapitalis ada disitu semua, coba kl ni buku jadi bahan literatur wajib, bakal se-kritis dan se-berontak apa orang-orang pada saat itu. dan ketika buku ini dibaca terlalu telat, anggepannya malah dosa karena udah mulai menyangka madilog masuk akal (termasuk aku), dari kecil di doktrin kalau agama, ilmu alam, filsafat itu tiga ranah berbeda dan gak ada sangkut pautnya, but hell no waaay why on earth tan malaka have his own word and hardly spoke the truth.
tapi kabar baiknya, madilog nggak melulu tentang doktrin filsafat, banyak ilmu science yg kita nggak perna tau asal-usulnya dijelasin secara runtut disitu. matematika sbg dasar kehidupan, dsb. so so so sorry, if by any chance i have to brought up this to publicly discussion, i choose to be quite ahahaha😠bunda ku bakal marah kalau liat ini
but overall 4,6/5. i enjoying my delayed and moment of realization everytime i read madilog!
Too basic for me. Half of it is talking about logic and math. It is supposed to be learned by Indonesian people at SMP. The language is also weird. My brain hurts.
Madilog adalah akronim dari “Materialisme, Dialektika, dan Logika�. Madilog ditulis oleh Tan Malaka dalam periode delapan bulan dan rampung pada tahun 1943. Bisa dibilang, Madilog adalah karya terbesar Tan Malaka selama hidupnya. Perjuangannya yang begitu berat di tahun-tahun sebelumnya setelah diasingkan dan kabur ke banyak negara, berlabuh dalam bentuk satu kitab tebal berjumlah 530-an halaman (versi yang saya baca); Madilog. Di artikel ini saya hanya berfokus pada buku Madilog dan tidak akan mengambil pranala dari luar sebagai pembanding atau rujukan� tentunya selain Mind Palace. Saya akan menyebut pembahasan ini sebagai Materialisme, Dialektika, dan Logika. Selain karena sama dengan judul bukunya, bab yang banyak di buku ini bisa dilebur menjadi tiga tema besar itu.
Pada bab pendahuluan, Tan Malaka menyebutkan bagaimana suasana politik di Indonesia mengilhaminya untuk menulis Madilog. Ia melanjutkan bahwa beberapa tahun ke belakang ia mengalami penurunan kesehatan sehingga membuatnya sulit untuk banyak membaca buku. Di bagian ini, ada subbab “Perpustakaan� yang begitu menarik bagi saya. Tan Malaka menyebut Leon Trotsky yang membawa banyak buku ketika diasingkan, serta Mohammad Hatta yang membawa berpeti-peti buku ketika dibuang ke Boven Digul. Tan Malaka berkata meskipun ia ingin seperti tokoh-tokoh tersebut untuk membawa buku ketika diasingkan, ia tidak memiliki kesempatan sama sekali. Ketika ia dalam pelarian di banyak negara, Tan Malaka bersikeras untuk mencari pekerjaan terutama sebagai guru bahasa Inggris agar ia mendapatkan uang untuk membeli buku-buku. Perkataan Tan Malaka yang paling menggugah semangat saya perihal buku adalah:
“Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.�
Bahkan dalam menulis Madilog, Tan Malaka meminta maaf kepada pembaca karena pustaka (sumber) yang ia gunakan tidak bisa ia cantumkan karena buku-buku itu sudah dibakar oleh aparat atau ada yang ia buang ke laut karena menghindari kejaran polisi. Di sinilah Tan Malaka memperkenalkan suatu teknik yang ia beri nama “Jembatan Keledai� atau dalam bahasa Belanda disebut ezelbruggece. Keterampilan unik ini membuat Tan Malaka mampu mengingat suatu topik atau hal penting yang ia simpan dalam ingatannya. Jembatan Keledai ini berbentuk akronim dari suatu topik besar. Misalnya: “ALS� adalah singkatan dari “Air, Land, Sea� yang mengacu pada bagaimana sebuah negara mampu memenangkan sebuah pertempuran. Bukan sekadar singkatan biasa, dalam kepala Tan Malaka, singkatan ini bisa menuntunnya ke “Jembatan Keledai� yang lain.
Inilah salah satu alasan saya menggunakan konsep “Mind Palace� pada cara berpikir Tan Malaka. Jembatan Keledai miliknya ini sungguh suatu perkara yang rumit dan brilian serta hanya dimiliki oleh Tan Malaka. Ia mampu mengingat begitu banyak perkara-perkara penting yang pernah ia baca dan kemudian ia simpan dalam Jembatan Keledai ini.
Tan Malaka memberi contoh sesosok Dewa dari peradaban Mesir yang bernama Dewa Rah. Dewa Rah dikatakan membuat alam semesta dengan suatu titah yang disebut “Ptah�. Tan Malaka mempertanyakan jika memang segala sesuatu itu ada dalam sekejap, maka petani tidak perlu repot-repot menunggu hasil panen padi selama berbulan-bulan. Ia berargumen bahwa jika perlu waktu untuk membuat semua hal, artinya Dewa Rah itu takluk dengan waktu.
Tan Malaka kemudian lanjut mengkritik logika mistika dengan argumen pembanding The Law of Evolution yang dicetuskan oleh Charles Darwin. Ia menambahkan bahwa teori Darwin memberikan jawaban bagaimana tumbuhan dan hewan adalah hasil evolusi selama ribuan tahun atau sangat lama. Jika memang Dewa Rah adalah menguasai dan bagian dari alam semesta, untuk apa kita perlu menyembahnya? Lebih baik menyembah alam yan jelas-jelas terlihat dan ada bentuknya timpal Tan Malaka.
Tan Malaka mengkritik bagaimana pandangan logika mistika yang berpendapat bahwa benda itu diciptakan dari rohani. Hal itu tentu mustahil dan berlaku sebaliknya sebagaimana pandangan materialisme. Bahwa keadaan rohani atau kodrat lahir ketika benda itu telah ada. Secara tidak langsung Tan Malaka mengatakan bahwa semua hal gaib bahkan Dewa, Tuhan, Hantu tidaklah ada karena hal-hal tersebut hanyalah bagian dari logika mistika saja.
Pada bagian ini pula ia banyak mengkritik para filsuf idealis seperti Hume, Hegel, bahkan Kant. Ia berpendapat bahwa tidak penting memikirkan suatu identitas kebendaan yang hanya akan melahirkan pemikiran yang tidak terarah dan idealis. Bagi kaum materialis, eksistensi benda itu sudah cukup dan tidak perlu dipertanyakan jika benda tersebut bisa dirasakan oleh panca indra. Semakin jelas rasanya ketika Tan Malaka menabrakkan pemikiran Hegel yang merupakan dialektika-idealis dengan pemikiran Marx yang berwujud dialektika-materialis. Terpancar jelas bahwa Tan Malaka begitu teguh berdiri di barisan Marxisme dan tidak sekalipun terlampir kalimat yang mengkritik filsafat Marx.
Jika anda telah membaca Madilog, maka sebenarnya bab dialektika tidak diperlukan sebagai judul bab. Karena sejak awal bahkan pada bagian materialisme, Tan Malaka sudah berulang kali menyebutkan dialektika sebagai sesuatu yang berlawanan dengan logika. Logika itu bisa dianggap cara berpikir ala sains. Seperti analogi “A bukan non A�. Logika yang dimaksud adalah keadaan biner antara “ya� dan “tidak�. Berbeda dengan logika, dialektika justru sebaliknya. Dalam prinsip dialektika, “ya� bisa jadi “tidak�.
Tan Malaka mengambil contoh “air� dan “kereta api uap�. Dalam logika, bisakah uap membuat kereta api bergerak? Maka jawabannya adalah bisa. Lalu apakah air bisa membuat kereta api bergerak? Maka jawabannya adalah tidak bisa. Namun, ketika ranah ini diambil alih oleh dialektika, terjadi perbedaan besar dalam jawaban. Jika ditanya apakah air bisa membuat kereta api bergerak? Jawaban dialektika adalah bisa dan tidak bisa. “Bisa� karena air yang dipanaskan hingga mencapai titik didih akan menjadi uap dan membuat kereta api bergerak. “Tidak bisa� jika air itu tidak dipanaskan. Intinya adalah bahwa keadaan pertama dua jawaban tersebut “air adalah air�. Jika dimasukkan unsur waktu maka bisa jadi jawaban itu berubah sesuai prinsip dialektika.
Pada akhir bab dialektika dan awal bab logika, saya mungkin akan melontarkan kritik kepada Madilog dan Tan Malaka, sebab di bagian ini Tan Malaka banyak menggunakan analogi matematika yang aneh dan saya rasa tidak relevan untuk dijadikan perumpamaan. Tan Malaka berpikir bahwa persamaan matematika yang ia ajukan akan membantu pembaca menalar dasar pikiran materialisme Tan Malaka. Justru sebaliknya. Persamaan matematika tersebut banyak yang terlampau dipaksakan. Salah satu hal yang saya ingat begini:
Ada seseorang yang kena demam dan panas. Lalu ia membaca buku-buku buatan dokter, dukun, dan lain-lain untuk mencari tahu apakah penyebab ia demam. Ia mengumpulkan ada tiga penyebab berdasarkan buku yang dibaca. (A) Nyamuk Anopheles, (H) Ditegur hantu, (R) Makan rujak. Kemudian entah bagaimana tiba-tiba Tan Malaka memasukkan tiga penyebab lain: (A) Nyamuk Anopheles, (M) Angin malam, (K) Melangkahi kuburan. Dan tiba-tiba Tan Malaka mengatakan bahwa persamaan yang ada dari dua rangkaian penyebab antara AHR dengan AMK menyisakan A karena sama antara tiga penyebab pertama dan tiga penyebab kedua. Pada titik ini saya entah mengapa merasa bahwa Tan Malaka terlalu memaksakan persamaan ini dengan topik yang sama sekali tidak berhubungan dengan perhitungan semacam ini.
Di bab-bab terakhir tepatnya setelah bab logika yang membuat saya pusing karena banyaknya analogi matematika Tan Malaka, terlihat kecenderungan pemikiran yang berbeda darinya. Tan Malaka membayangkan sebuah Taman Manusia yang terletak di sebuah gunung. Di gunung tersebut ada pula patung-patung tokoh yang berjasa pada Indonesia. Semakin ke puncak, semakin berpengaruh pulalah tokoh tersebut seperti Dr. Cipto Mangunkusumo. Ditaruh pula patung-patung para filsuf dunia barat dengan segala aliran filsafatnya. Ada pula patung para nabi dari berbagai agama sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka. Hal yang aneh mengingat di awal Tan Malaka mengkritik habis-habisan agama dan logika mistika. Di taman manusia itu ada pula tugu untuk “orang-orang najis� atau bisa dianggap sebagai pengkhianat negara.
Taman Manusia inilah sebuah konsepsi rumit dari sebagian “Mind Palace� milik Tan Malaka. Taman manusia itu adalah bayangan utopisnya mengenai suatu negara komunis yang makmur. Tidak ada kepemilikan sendiri yang bisa merugikan orang lain sebab segala macam mesin dan alat produksi dimiliki oleh masyarakat. Mengenang tokoh yang berjasa dengan pendirian patung di bukit taman manusia adalah cara berpikir romantis ala komunis pula. Sejujurnya, pada bagian ini saya sangat terharu dengan dunia bayangan Tan Malaka ini. Saya hampir menangis ketika Tan Malaka membayangkan di masa depan, bangsa ini tidak lagi inferior dan sanggup berdiri mandiri membuktikan pada dunia bahwa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan mental itu.
Buku ini memiliki banyak hal untuk dibahas. Terlalu banyak. Saya tidak bisa menyajikan semuanya dalam artikel pendek ini. Jika ditanya apakah buku ini worth it untuk dibaca, maka jawabannya saya sangat worth it. Hanya saja anda harus bersabar dengan gaya bahasa filosofis Tan Malaka yang membuat anda mungkin mengulangi kembali kalimat yang tadinya anda baca karena begitu rumit. Meskipun banyak analogi matematika aneh dan hal-hal yang kontradiktif yang datang dari Tan Malaka sendiri, rasanya bisa dimaklumi karena beliau memiliki romantisme yang tinggi terhadap Indonesia. Romantisme yang mampu membuatnya bersikap labil dan tidak konsisten dalam memaksakan materialisme dan marxisme pada kultur Indonesia yang begitu beragam ini.
Pada akhirnya, Mind Palace milik Tan Malaka adalah sebuah bangunan yang begitu rumit. Kadang istana itu kokoh seperti benteng, kadang kala istana itu hanya menjulang tinggi ke awan dan berharap menembus langit. Madilog yang merupakan cacian terhadap cara berpikir kuno dan terbelakang masyarakat Indonesia, berakhir dengan damai indah layaknya dunia utopia yang diisi dengan kebahagiaan dan tawa. Dunia yang sangat mustahil untuk tercapai. Dunia impian Tan Malaka. Dunia impian saya. Terimakasih Tan Malaka. Madilogmu semoga tersampaikan ke lubuk bangsa yang masih inferior dan penuh keminderan ini.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Madilog membawa kita pada gambaran cita-cita kemajuan bagi bangsa Indonesia. Tan Malaka menarik wawasan dan cara pandang yang bisa dikatakan "mengguncangkan" bagi bangsa Indonesia tidak hanya pada saat buku ini ditulis maupun sampai saat ini. Apabila bangsa Indonesia ingin maju, ia mengatakan agar bangsa Indonesia menjauhkan cara berpikir idealistik yang dipengaruhi oleh dogma dan pandangan lampau tentang hakikat alam dan manusia. Bangsa Indonesia, menurutnya, harus bisa belajar dari gerak kemajuan dalam sejarah panjang peradaban manusia yang didasarkan atas ilmu pengetahuan dan kekuatan akal (logika). Dengan menarik argumen yang berasar dari filsafat (terutama Marx dan Hegel) dan sains (Darwin), Tan Malaka menggugat pemahaman sempit atas alam semesta dan masyarakat yang menurutnya terkukung oleh kekeliruan dalam cara berpikir, termasuk yang dipengaruhi oleh kepercayaan mutlak sebagian besar masyarakat pada sumber-sumber dalam kitab suci tanpa penalaran lebih lanjut.
Madilog dapat berarti goncangan bagi yang tidak siap menerima perubahan cara pandang, terutama yang menerima ajaran-ajaran rohani (meskipun sebagiannya diselewengkan oleh para pemuka agama) sebagai satu-satunya kebenaran. Kondisi tersebut bagi bangsa Indonesia membatasi pencapaian gerak dialektika dan tidak akan menuntun manusia pada kebenaran yang sejati, yang dalam kodrat dan sejarahnya, manusia telah menunjukkan pencapaian yang luar biasa sampai saat ini.
Membaca Madilog dalam konteks kekinian membuat kita kagum atas visi Tan Malaka, sebagai salah satu bapak bangsa, bahwa sejatinya peran anak bangsa adalah memajukan bangsanya dan juga seluruh manusia melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada hal. 535, ia menulis:
" Kuat, sehatkanlah badanmu pelajarilah semua ilmu yang nyata. Kuatkanlah dan berkurbanlah buat masyarakatmu, masyarakat semua manusia. Teguhkanlah imanmu. Kendalilah lebih dahulu kodrat di dalam dirimu itu. Barulah engkau sampai pada kesomapanan yang sebetulnya, yang sempurna yakni pengendalian kodrat di dalam dan di luar diri buat masyarakat".
Melalui Madilog, Tan Malaka tidak hanya menjadi perantara untuk revolusi sosial yang telah terlebih dahulu timbul di Barat, melainkan juga menjadikan revolusi yang digerakkan oleh ilmu pengetahuan dan tektologi mendapatkan tempatnya pada bangsa Indonesia.
Pada awal keikut sertaan Engku Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka pada parta PKI hanya sebatas alat untuk mengumpulkan massa dan menggerakkan masa dalam sebuah perjuangan kemerdekaan serta menggunakan sistem sosialis Karl Marx sebagai pisau analisa. Dalam pada itu, pada buku MADILOG ini, Tan Malaka agaknya menyuguhkan suatu hal yang lain, saya lihat pemikiran beliau dalam buku tersebut benar-benar ditujukan untuk kondisi masyarakat Indonesia. MADILOG lahir dari perjuangan panjang Tan Malaka. Bagaimana pendidikan ranah (alam Minangkabau) yang menjadi pijakan awal sebagai jati diri Tan Malaka dikawinkan dengan aktualisasi dirinya terhadap alam perantauan . Dalam falsafah alam Minangkabau dikatakan menggeruk sehabis gaung, artinya bahwa mencari jawaban atas suatu hal benar-benar diselesaikan, antara wujud dan non-wujud, antara matter dengan inmatter, hal tersebut dapat kita lihat dalam MADILOG. Tan Malaka menginginkan merdeka 100%, bukan hanya merdeka dari penjajahan namun juga dari mental, ekonomi. Dalam pada itu, selain membaca MADILOG, ada baiknya juga membaca pemikiran-pemikiran Sutan Sjahrir mengenai sosialisme kerakyatan,jika boleh diberikan perandaian maka pemikiran Sutan Sjahrir sebagai sebuah thesis, pemikiran Tan Malaka sebagai Antithesis, maka sintesis dari dua pemikiran tersebut mesti dapat kita temukan untuk kehidupan masyarakat Indonesia.