Muwahid's Reviews > Madilog
Madilog
by
by

Setelah membacanya dua kali, kurang lebih resepsi saya terhadap magnum opus beliau masih sama.
Dalam buku "Madilog", terpampang sangat jelas bahwa penulis ingin mengubah pola pikir masyarat indonesia yang menurut penulis "terlalu bergantung pada takdir". Pola pikir ini membahayakan, karena pola pikir seperti ini � menurut penulis � dapat menghambat indonesia kepada kemajuan. Dengan memahami konteks historis dari penulis, tidak mengherankan. Kemudian, menurut penulis, pola pikir ini disebabkan oleh "logika mistika" yang berada di masyarakat. Untuk menghapus pola pikir tersebut, Tan Malaka menulis buku berjudul "Madilog" yang mengajarkan cara berpikir "Materialisme, Dialektika, dan Logika". Dengan buku ini, penulis berharap dapat mengubah cara berpikir masyarakat indonesia dari "logika mistik" ke "Madilog".
Dalam mengkritik "logika mistika", sebenarnya, penulis menyinggung agama dalam buku ini. Mungkin kurang jelas bagi pembaca, karena kadang penulis 'loncat' dari satu topik ke topik lain, membuat bukunya terkesan berantakan (walaupun saya mengerti kondisi penulis pada saat penulisan). Berhubung saya lihat sangat sedikit resepsi yang membahas Tan Malaka dari sudut pandang metafisika/teologisnya, maka saya akan membahas beberapa kritik Tan Malaka terhadap "logika mistika", yang sebenarnya kritik terhadap pola pikir "agama".
Sebelumnya, saya akan membagi pembaca buku ini menjadi dua tipe, yaitu orang awam dan orang 'ahli'. Orang 'ahli' di sini � berdasarkan pembagian Tan Malaka � mencakup 'ahli filsafat kolot' dan 'ahli agama'. Dengan pembagian tersebut, mari kembali ke resepsi buku "Madilog".
1.Kritik terhadap Dewa Rah"
Pada halaman 38, Tan Malaka menyinggung dan mengkritik Dewa Rah yang konon dapat menciptakan sesuatu hanya dengan firman saja. Tan Malaka kemudian menganggap bahwa kepercayaan seperti itu hanya omong kosong belaka. Penulis yang pintar, ia mengetahui bahwa tulisannya akan diinterpretasikan secara berbeda oleh orang awam dan orang 'ahli'. Bagi orang awam, dia akan setuju oleh kritik penulis tanpa mengetahui kenapa penulis membahas Dewa Rah. Akan tetapi, sangat jelas bagi orang 'ahli' bahwa Tan Malaka sedang membahas Tuhan dalam agama samawi. Ingat 'Kun Faya Kun'? Ya, penulis sedang membahas hal tersebut. Syahdan, penulis menganggap kepercayaan kepada hal layknya Dewa Rah tidak logis jika dihadapkan dengan cara pikir 'Madilog'. Ia menggunakan argumen abduktif untuk menunjukkan kerancuan kepercayaan Dewa Rah. Ia mengatakan hubungan antara Tuhan dan Alam hanya ada 3 kemungkinan:
1. Antara alam lebih kuat dari Tuhan;
2. atau Tuhan dan alam sama kuatnya;
3. atau Tuhan lebih kuat dari alam.
Sangat jelas bagi siapapun yang memiliki akal sehat, bahwa 1 dan 2 tidak mungkin terjadi dan tidak logis. Namun, nomor 3 lah yang dibahas oleh Tan Malaka secara serius, perbolehkan saya untuk mengkritiknya.
Tan Malaka mengatakan kemungkinan nomor 3 itu tidak logis, karena menurutnya, alam semesta ini mempunyai hukum alam, yaitu "hukum evolusi" (Law of Evolution). Dalam kata lain, alam semesta dibentuk secara progresif. Kemudian, penulis mengatakan 'Dewa Rah' mustahil lebih kuat dari alam karena dalam sejarah, hukum alam tidak pernah berhenti menjadi valid/sahih. Ia juga mengatakan alam itu terbentuk secara progresif, tidak seperti 'Dewa Rah' yang membentuk alam secara sekejap saja.
Sangat jelas bagi semua orang yang mempunyai akal sehat bahwa argumen penulis sangat-sangat rancu. Hanya karena 'Dewa Rah' bisa membuat alam dengan perkataan, bukan niscaya berarti 'Dewa Rah' membuat alam secara sekejap. Proses pembuatan alam itu bisa dalam sekejap maupun progresif � Dengan demikian, tidak ada kontradiksi yang niscaya antara pembuatan alam oleh 'Dewa Rah' dan 'Law of Evolution'. Dengan demikian, penulis melakukan kesalahan berfikir formal, yaitu non-sequitur (kesalahan dalam pengambilan kesimpulan). Cukup ironis, padahal penulis membuat buku logika hanya berdasarkan ingatan saja.
2. Kritik terhadap Tuhan dan sebab-akibat
Pada halaman 245, penulis mengkritik 'ahli filsafat kolot' dan 'ahli agama' yang mencemarkan kakinya kepada ilmu sains/ilmu bukti. Ia mengkritik orang 'ahli' yang menggunakan hukum kausalitas untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Penulis mengatakan bahwa orang 'ahli' menggunakan premis "segala hal pasti ada sebabnya" untuk membuktikan Tuhan menyebabkan alam semesta. Penulis lalu mengatakan bahwa kepercayaan ini rancu, karena jika semua akibat pasti ada sebabnya, lalu siapa yang menyebabkan Tuhan?
Dalam hal ini, penulis benar. Akan tetapi, jika saja penulis membaca karya-karya orang 'ahli' yang dia sebut kolot itu secara terbuka (open-minded), bisa jadi penulis akan paham mengapa "sebab pertama" itu disebut Tuhan. Mereka sebenarnya mengatakan "segala hal yang mulai muncul pasti ada sebabnya", bukan "segala hal yang muncul pasti ada sebabnya". Premis inilah yang digunakan dalam karya 'ahli agama' Al-Ghazali. Jadi, � mengabaikan kebenaran premisnya � mereka mengatakan sesuatu yang tidak mulai muncul � seperti Tuhan � itu tidak membutuhkan sebab. Dengan demikian, penulis "Madilog" telah melakukan kerancuan logika non formal, yaitu straw-man (menyerang argumen yang tidak dibuat oleh pembuat argumen). Menariknya, salah satu orang yang menggunakan hukum kausalitas untuk membuktikan Tuhan adalah Aristoteles, sang 'ahli logika', sang filsuf yang dibanggakan oleh Tan Malaka dalam bukunya. Hal ini membuat saya penasaran, apakah Aristoteles juga dianggap sebagai "ahli filsafat kolot" oleh Tan Malaka? Don't know.
Syahdan, pembahasan terhadap Dewa Rah dan sebab-akibat hanyalah beberapa pembahasan agama dari penulis. Sebenarnya, masih banyak pembahasan agama dalam buku Madilog yang mempunyai kerancuan logika, kebanyakan kerancuan logika non-formal. Akan tetapi, dua pembahasan tersebut hanyalah cuplikan dari buku Madilog yang menunjukkan kekurangan ilmu penulis terhadap hal yang dikritiknya.
Tan Malaka merupakan individu yang sangat pintar dan salah satu pahlawan negara kita. Namun, sebagai pembaca, kita tetap harus bersikap kritis dan skeptis terhadap karya seseorang; walaupun itu karya pahlawan negara sekali pun.
We listen we don't judge: In my opinion, the book is highly —and being progressively � overrated. Bukunya di branding sebagai buku yang mengajarkan pola pikir untuk melawan 'logika mistika', yaitu logika yang mengatribusikan segala hal kepada sihir, setan, hantu, dsb (begitulah yang saya pikir). Akan tetapi, nyatanya, sedikit sekali penulis membahas tentang logika mistika. Saya kira penulis akan membahas kerancuan pola pikir sebab-akibat masyarakat indonesia yang selalu mengatribusikan segala hal kepada sihir, setan, hantu, dsb dan menunjukkan bahwa hal-hal seperti itu tidak logis di mata logika dan sains � ternyata tidak. (agak sedih karena saya tertarik terhadap kritik-kritik jenis tsb).
Imo, jika tujuan membacanya itu ingin mengetahui cara pikir dengan baik dan benar, lebih baik membaca buku yang berfokus terhadap logika secara langsung daripada membaca buku ini. Nonetheless, it was a good book. Apalagi buku ini ditulis dalam 8 bulan dan setengahnya hanya ditulis murni dengan ingatan. Penulis juga menyisihkan 3 jam waktunya setiap hari untuk menulis magnum opusnya. Secara tidak langsung, buku ini menunjukkan bahwa penulis merupakan orang yang mempunyai memori kuat, berpengetahuan luas dan sangat disiplin. Mengingat sifat-sifat tersebut, saya harap saya sendiri bisa menjadi seperti beliau dan saya harap kita bisa mempunyai lebih banyak "Tan Malaka" di negeri ini,
Sekian review dari saya.
Dalam buku "Madilog", terpampang sangat jelas bahwa penulis ingin mengubah pola pikir masyarat indonesia yang menurut penulis "terlalu bergantung pada takdir". Pola pikir ini membahayakan, karena pola pikir seperti ini � menurut penulis � dapat menghambat indonesia kepada kemajuan. Dengan memahami konteks historis dari penulis, tidak mengherankan. Kemudian, menurut penulis, pola pikir ini disebabkan oleh "logika mistika" yang berada di masyarakat. Untuk menghapus pola pikir tersebut, Tan Malaka menulis buku berjudul "Madilog" yang mengajarkan cara berpikir "Materialisme, Dialektika, dan Logika". Dengan buku ini, penulis berharap dapat mengubah cara berpikir masyarakat indonesia dari "logika mistik" ke "Madilog".
Dalam mengkritik "logika mistika", sebenarnya, penulis menyinggung agama dalam buku ini. Mungkin kurang jelas bagi pembaca, karena kadang penulis 'loncat' dari satu topik ke topik lain, membuat bukunya terkesan berantakan (walaupun saya mengerti kondisi penulis pada saat penulisan). Berhubung saya lihat sangat sedikit resepsi yang membahas Tan Malaka dari sudut pandang metafisika/teologisnya, maka saya akan membahas beberapa kritik Tan Malaka terhadap "logika mistika", yang sebenarnya kritik terhadap pola pikir "agama".
Sebelumnya, saya akan membagi pembaca buku ini menjadi dua tipe, yaitu orang awam dan orang 'ahli'. Orang 'ahli' di sini � berdasarkan pembagian Tan Malaka � mencakup 'ahli filsafat kolot' dan 'ahli agama'. Dengan pembagian tersebut, mari kembali ke resepsi buku "Madilog".
1.Kritik terhadap Dewa Rah"
Pada halaman 38, Tan Malaka menyinggung dan mengkritik Dewa Rah yang konon dapat menciptakan sesuatu hanya dengan firman saja. Tan Malaka kemudian menganggap bahwa kepercayaan seperti itu hanya omong kosong belaka. Penulis yang pintar, ia mengetahui bahwa tulisannya akan diinterpretasikan secara berbeda oleh orang awam dan orang 'ahli'. Bagi orang awam, dia akan setuju oleh kritik penulis tanpa mengetahui kenapa penulis membahas Dewa Rah. Akan tetapi, sangat jelas bagi orang 'ahli' bahwa Tan Malaka sedang membahas Tuhan dalam agama samawi. Ingat 'Kun Faya Kun'? Ya, penulis sedang membahas hal tersebut. Syahdan, penulis menganggap kepercayaan kepada hal layknya Dewa Rah tidak logis jika dihadapkan dengan cara pikir 'Madilog'. Ia menggunakan argumen abduktif untuk menunjukkan kerancuan kepercayaan Dewa Rah. Ia mengatakan hubungan antara Tuhan dan Alam hanya ada 3 kemungkinan:
1. Antara alam lebih kuat dari Tuhan;
2. atau Tuhan dan alam sama kuatnya;
3. atau Tuhan lebih kuat dari alam.
Sangat jelas bagi siapapun yang memiliki akal sehat, bahwa 1 dan 2 tidak mungkin terjadi dan tidak logis. Namun, nomor 3 lah yang dibahas oleh Tan Malaka secara serius, perbolehkan saya untuk mengkritiknya.
Tan Malaka mengatakan kemungkinan nomor 3 itu tidak logis, karena menurutnya, alam semesta ini mempunyai hukum alam, yaitu "hukum evolusi" (Law of Evolution). Dalam kata lain, alam semesta dibentuk secara progresif. Kemudian, penulis mengatakan 'Dewa Rah' mustahil lebih kuat dari alam karena dalam sejarah, hukum alam tidak pernah berhenti menjadi valid/sahih. Ia juga mengatakan alam itu terbentuk secara progresif, tidak seperti 'Dewa Rah' yang membentuk alam secara sekejap saja.
Sangat jelas bagi semua orang yang mempunyai akal sehat bahwa argumen penulis sangat-sangat rancu. Hanya karena 'Dewa Rah' bisa membuat alam dengan perkataan, bukan niscaya berarti 'Dewa Rah' membuat alam secara sekejap. Proses pembuatan alam itu bisa dalam sekejap maupun progresif � Dengan demikian, tidak ada kontradiksi yang niscaya antara pembuatan alam oleh 'Dewa Rah' dan 'Law of Evolution'. Dengan demikian, penulis melakukan kesalahan berfikir formal, yaitu non-sequitur (kesalahan dalam pengambilan kesimpulan). Cukup ironis, padahal penulis membuat buku logika hanya berdasarkan ingatan saja.
2. Kritik terhadap Tuhan dan sebab-akibat
Pada halaman 245, penulis mengkritik 'ahli filsafat kolot' dan 'ahli agama' yang mencemarkan kakinya kepada ilmu sains/ilmu bukti. Ia mengkritik orang 'ahli' yang menggunakan hukum kausalitas untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Penulis mengatakan bahwa orang 'ahli' menggunakan premis "segala hal pasti ada sebabnya" untuk membuktikan Tuhan menyebabkan alam semesta. Penulis lalu mengatakan bahwa kepercayaan ini rancu, karena jika semua akibat pasti ada sebabnya, lalu siapa yang menyebabkan Tuhan?
Dalam hal ini, penulis benar. Akan tetapi, jika saja penulis membaca karya-karya orang 'ahli' yang dia sebut kolot itu secara terbuka (open-minded), bisa jadi penulis akan paham mengapa "sebab pertama" itu disebut Tuhan. Mereka sebenarnya mengatakan "segala hal yang mulai muncul pasti ada sebabnya", bukan "segala hal yang muncul pasti ada sebabnya". Premis inilah yang digunakan dalam karya 'ahli agama' Al-Ghazali. Jadi, � mengabaikan kebenaran premisnya � mereka mengatakan sesuatu yang tidak mulai muncul � seperti Tuhan � itu tidak membutuhkan sebab. Dengan demikian, penulis "Madilog" telah melakukan kerancuan logika non formal, yaitu straw-man (menyerang argumen yang tidak dibuat oleh pembuat argumen). Menariknya, salah satu orang yang menggunakan hukum kausalitas untuk membuktikan Tuhan adalah Aristoteles, sang 'ahli logika', sang filsuf yang dibanggakan oleh Tan Malaka dalam bukunya. Hal ini membuat saya penasaran, apakah Aristoteles juga dianggap sebagai "ahli filsafat kolot" oleh Tan Malaka? Don't know.
Syahdan, pembahasan terhadap Dewa Rah dan sebab-akibat hanyalah beberapa pembahasan agama dari penulis. Sebenarnya, masih banyak pembahasan agama dalam buku Madilog yang mempunyai kerancuan logika, kebanyakan kerancuan logika non-formal. Akan tetapi, dua pembahasan tersebut hanyalah cuplikan dari buku Madilog yang menunjukkan kekurangan ilmu penulis terhadap hal yang dikritiknya.
Tan Malaka merupakan individu yang sangat pintar dan salah satu pahlawan negara kita. Namun, sebagai pembaca, kita tetap harus bersikap kritis dan skeptis terhadap karya seseorang; walaupun itu karya pahlawan negara sekali pun.
We listen we don't judge: In my opinion, the book is highly —and being progressively � overrated. Bukunya di branding sebagai buku yang mengajarkan pola pikir untuk melawan 'logika mistika', yaitu logika yang mengatribusikan segala hal kepada sihir, setan, hantu, dsb (begitulah yang saya pikir). Akan tetapi, nyatanya, sedikit sekali penulis membahas tentang logika mistika. Saya kira penulis akan membahas kerancuan pola pikir sebab-akibat masyarakat indonesia yang selalu mengatribusikan segala hal kepada sihir, setan, hantu, dsb dan menunjukkan bahwa hal-hal seperti itu tidak logis di mata logika dan sains � ternyata tidak. (agak sedih karena saya tertarik terhadap kritik-kritik jenis tsb).
Imo, jika tujuan membacanya itu ingin mengetahui cara pikir dengan baik dan benar, lebih baik membaca buku yang berfokus terhadap logika secara langsung daripada membaca buku ini. Nonetheless, it was a good book. Apalagi buku ini ditulis dalam 8 bulan dan setengahnya hanya ditulis murni dengan ingatan. Penulis juga menyisihkan 3 jam waktunya setiap hari untuk menulis magnum opusnya. Secara tidak langsung, buku ini menunjukkan bahwa penulis merupakan orang yang mempunyai memori kuat, berpengetahuan luas dan sangat disiplin. Mengingat sifat-sifat tersebut, saya harap saya sendiri bisa menjadi seperti beliau dan saya harap kita bisa mempunyai lebih banyak "Tan Malaka" di negeri ini,
Sekian review dari saya.
Sign into Å·±¦ÓéÀÖ to see if any of your friends have read
Madilog.
Sign In »
Reading Progress
June 22, 2022
–
Started Reading
June 22, 2022
– Shelved
June 28, 2022
–
Finished Reading