ŷ

Jump to ratings and reviews
Rate this book

Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan

Rate this book
Perjalananku bukan perjalananmu
Perjalananku adalah perjalananmu


Jauh. Mengapa setiap orang terobsesi oleh kata itu? Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol. Para pengelana lautan mengarungi samudra luas. Para pendaki menyabung nyawa menaklukkan puncak.

Juga terpukau pesona kata "jauh", si musafir menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Dimulai dari sebuah mimpi, ini adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.

Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.


"Agustinus telah menarik cakrawala yang jauh pada penulisan perjalanan (travel writing) di Indonesia. Penulisan yang dalam, pengalaman yang luar biasa, membuat tulisan ini seperti buku kehidupan. Titik Nol merupakan cara bertutur yang benar-benar baru dalam travel writing di negeri ini."
—Qaris Tajudin, editor Tempo dan penulis novel.

568 pages, Paperback

First published February 1, 2013

430 people are currently reading
3,095 people want to read

About the author

Agustinus Wibowo

9books602followers
Agustinus Wibowo is an Indonesian travel writer and photographer who had spent four years traveling overland continuously. Departing from Beijing, his original destination was South Africa, but he was stuck in Afghanistan and stayed there for 3 years as a photojournalist. He has published two travel narrative books in Indonesian language, namely: Selimut Debu---Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan (Blanket of Dust---Dreams and Pride from War-torn Afghanistan) and Garis Batas---Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (Borderlines---Journey in Central Asian Countries).

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
1,264 (52%)
4 stars
840 (35%)
3 stars
200 (8%)
2 stars
53 (2%)
1 star
32 (1%)
Displaying 1 - 30 of 343 reviews
Profile Image for Uci .
608 reviews119 followers
February 21, 2013
Bulan Februari, 8 tahun yang lalu
Saya sengaja mengambil cuti seminggu dari kantor, berencana membawa Mama saya ke Bali atau ke mana pun yang dia mau, siapa tahu kondisinya bisa membaik. Sejak menjalani operasi pengangkatan payudara akibat kanker yang dideritanya, Mama memang bilang dia mudah sesak napas. Tidak pakai mengeluh, karena Mama saya orang paling tabah sedunia. Tapi tetap saja saya tidak tega saat malam hari diam-diam masuk ke kamarnya dan melihat Mama tidur sambil duduk, karena kalau rebahan napasnya sesak.

Sehari sebelum mulai cuti, saya ditelepon di kantor, Mama masuk ICU.

Entah bisa dibilang untung atau tidak, yang jelas berkat cuti itu, saya jadi bisa menunggui Mama di RS. Dan kepada orang-orang yang menjenguk, begitu banyak yang datang menjenguknya, Mama selalu bilang, "Padahal Uci udah mau ngajak saya ke Bali lho. Ke mana aja yang saya mau. Nanti kalau saya sembuh."



***

Justru orang yang bisa baca kitab tanpa tulisan adalah orang yang paling arif bijaksana. (hal. 257)

Kalimat tersebut seolah menegaskan sub judul buku ini, Makna Sebuah Perjalanan. Karena meskipun membekali diri dengan setumpuk buku panduan atau contekan-contekan dari para traveler yang sudah lebih dulu melancong ke tempat yang kita tuju, tetap saja sebuah perjalanan akan meninggalkan kesan yang berbeda bagi setiap orang, bahkan jika perginya bersama-sama.

Berbeda dengan dua buku sebelumnya, Selimut Debu dan Garis Batas, Titik Nol lebih banyak menyajikan perenungan dan kesan-kesan pribadi Agustinus atas perjalanan yang dilakoninya. Tibet, Nepal, Pakistan, India dan Afghanistan, semua tempat memberinya pelajaran. Semua tempat 'mengulitinya' sedikit demi sedikit sehingga dia makin mengenali dan memahami dirinya sendiri. Agustinus yang kadang cengeng, egois, keras kepala, tapi juga rendah hati dan mudah percaya pada orang lain.

Titik Nol juga menyoroti ironi di surga-surga dunia yang dikejar orang. Nepal dan Tibet yang sudah begitu komersial sehingga ritual doa para bhiksu pun dicurigai sekadar atraksi wisata, sementara para turis masih mengharapkan oase eksklusif yang tak dapat mereka temukan di negara asal mereka. Mana yang harus diprioritaskan? Wilayah terisolir serta sulit dijangkau dan dengan demikian eksklusif tapi warganya miskin, atau wilayah komersial tapi warganya bisa mencicipi rezeki dari gelombang turisme?


***

Seminggu lebih Mama di rumah sakit. Saya sudah harus kembali masuk kerja. Dan tugas ke luar negeri sudah menunggu. Tidak jauh. Hanya ke Singapura. Hanya tiga hari. Tetap saja saya resah. Tegakah saya meninggalkan Mama?

Akhirnya pelan-pelan saya bilang ke Mama, saya harus pergi sebentar. Tapi kalau Mama tidak mau ditinggal, saya tidak akan pergi. Mama mengibaskan tangan dan berkata, "Jangan, pergi saja. Kamu pergilah keliling dunia. Biar Mama nunggu di sini." Lalu dia tersenyum. Saya mengusap air mata.

Beberapa hari kemudian, Mama pergi meninggalkan kami semua. Saya berangkat ke Singapura, dan setiap malam di kamar hotel, saya menangis sampai tertidur.



***

Membaca buku ini, sungguh sulit bagi saya untuk tidak menitikkan air mata. Pergulatan batin Agustinus terpapar begitu jelas di sini. Tudingan anak durhaka yang harus ditelannya karena sibuk bepergian ke sana kemari sementara mamanya terbaring sakit dan keluarganya pontang-panting dikejar utang. Sang Mama yang begitu tabah menerima penyakitnya karena yakin semua sudah ada yang mengatur, bahkan penyakit pun membawa berkahnya sendiri. Di antaranya, hubungan anak-ibu yang semakin erat dan kejujuran yang akhirnya terungkap di ranjang rumah sakit.

Kisah petualangan yang mendebarkan tentu masih ada. Ingar bingar India yang membuat Agustinus sempat muak karena berkali-kali hendak ditipu, kehidupan gelap gulita di dusun Chapursan yang tidak disinari matahari selama dua setengah bulan, kerusuhan di Pakistan, sampai hari-hari berteman ledakan bom di Afghanistan.

Namun pada intinya, buku ini bertutur tentang kalachakra, Roda Waktu. Seperti halnya perjalanan hidup kita yang juga diiringi perjuangan untuk menghasilkan karya-karya besar dan berbagai pencapaian, tetapi semuanya tetap akan kembali lagi pada kekosongan. (hal. 53)

Sehebat apa pun kita, sejauh apa pun kita melangkah, setinggi apa pun kita mendaki, pada akhirnya kita semua harus siap untuk kembali ke Titik Nol. Menjadi bukan siapa-siapa. Menjadi tiada.



Biarlah alam terus mengajarkan ilmunya, bukan aku yang mengubah dunia, tetapi dunialah yang mengubahku. (hal. 546)



Profile Image for Nabila Budayana.
Author7 books78 followers
March 2, 2013
Selimut debu adalah buku yang 'nyaris tak memberikan celah'. Garis Batas 'sedikit memberikan celah'. Titik Nol adalah buku yang terbuka. Membaca Titik Nol bukan hanya tentang mengenali dan menyelami berbagai makna dalam kehidupan dari sebuah perjalanan, namun juga mengenal pandangan dan isi hati sang penulis. Sempat beredar kabar akan terbit di tahun 2012, mundur menjadi awal Februari 2013, akhirnya benar-benar beredar di akhir Februari 2013. Saya termasuk yang menunggu.

Cover birunya memperlihatkan seorang anak yang seakan terbang setelah melompat dari batang pohon yang tak berdahan dan berdaun. Bagi saya, cover itu bercerita tentang kebebasan dan keberanian. Identik dengan sisi yang dimiliki seorang pejalan.

Jauh hari sebelum buku ini terbit, penulis telah mengatakan bahwa Titik Nol kelak akan berupa makna perjalanan, bukan hanya perkara destinasi. Sesuai dengan tagline yang digunakan : "Makna Sebuah Perjalanan".

Makna perjalanan yang menjadi tema besar dari buku ini mencakup begitu banyak hal yang seakan tak habis. Menggabungkan kisah tentang tujuan (Tibet, Nepal, India, Pakistan, Afghanistan) dan perenungan bukan hal mudah. Melalui Twitteriak, Agustinus Wibowo mengatakan ada dua plot paralel dalam Titik Nol. Nyatanya, dua plot tersebut adalah kisah tentang mama penulis dan kisah tentang makna perjalanan yang dibuat bergantian. Menggabungkan dan menemukan benang merahnya dalam tiap bagian jelas tak mudah. Belum lagi konten yang begitu luas dalam jumlah yang banyak. Jika dikatakan naskah buku ini telah mengalami dua puluh kali lebih penulisan ulang, sungguhlah kegigihan dan kerja keras penulis dan editor patut diapresiasi tinggi.

Saat membelinya di toko buku beberapa hari lalu, seorang pegawai toko buku (yang sepertinya sudah membaca habis buku ini) memberi saya klu. "Dia (penulis) bercerita tentang mamanya, mbak." Dari perkataan itu, saya pikir akan ada bab khusus tentang ibunda penulis. Ternyata dugaan saya meleset. 'Bab' tentang mama ada di seluruh bagian. Lebih-lebih, mama penulis adalah bahasan utama buku ini.

Mengikuti kisah tentang ibu dari seorang anak laki-laki yang bepergian jauh dalam waktu lama, mengingatkan saya pada novel "Ibuk" milik Iwan Setyawan. Kedua buku ini bersinggungan dalam banyak hal tentang ibu. Keduanya jelas berbeda, namun sesekali mampu menimbulkan rasa yang sama pada pembaca. Kasih sayang, rasa rindu, dedikasi hubungan seorang ibu dan anak. Juga sebagai sebentuk 'pelepasan diri' dari begitu banyak kenangan yang tentu terasa sulit untuk diungkapkan.

Gaya bahasa penulis lebih luwes dan terbuka di buku ini. Sesekali lucu dan menggelitik. Sesekali menampilkan amarah, kekesalan dan kekecewaan. Di lain waktu mampu menghadirkan duka dan kesedihan. Pembaca dibuat merasa penuh dengan rasa hatinya. Saya harus setuju dengan endorsement dari Qaris Tajudin di back cover. Buku ini seperti kitab kehidupan. Meski begitu, penulis mengungkapkan sama sekali tak ingin buku ini kelak dijadikan panduan pandangan bagi pembaca. Pembaca harus mencari sendiri makna dari perjalanannya masing-masing, refleksi diri sendiri.

Agustinus Wibowo berbicara masa kecil, memori, kasih sayang,penyesalan, mimpi, realitas, cinta, jodoh, karma, agama, kematian, bahkan seksualitas. Ia mencari dan terus menggali apa makna di balik hal-hal tersebut. Sebagai seorang pencerita, ia memainkan begitu banyak peran di buku ini. Kadang ia menjadi seorang penjelajah 'nekat, tak sayang nyawa dan tak memperhitungkan risiko', namun di sisi lain ia mampu menjadi seorang lembut penuh kasih sayang yang begitu cemas akan kondisi ibunya, ia pun mampu berganti menjadi pejuang super gigih yang tak gentar dengan segala medan keras di depan, juga seorang pria yang mencintai wanita pujaannya. Pembaca dibuat mengenal lebih dalam sang penulis melalui kata-kata.

Kadang kala saya merasa bertanya-tanya saat membaca berbagai kesusahan, kejadian buruk, bahkan nyawa sebagai taruhan saat penulis melakukan perjalanan. "Apa sesungguhnya yang dicari seorang Agustinus Wibowo?" mau tak mau saya setuju dengan apa yang dikatakan adik penulis di bagian awal. Namun semakin ke belakang, semakin saya dibuat mengerti dan menyadari tujuan dan alasan penulis melakukan berbagai perjalanan. Bagaimana perjalanan adalah bagian dari hidupnya, bagian dari 'rumah'nya. Begitulah garis Tuhan. Jika beliau tidak pernah melakukan perjalanan, bisa jadi tak akan ada buku-buku yang hadir dari tangannya. Bisa jadi pembaca masih haus akan karya sejenis. Bisa jadi pembaca tak akan pernah berkaca diri dari sebuah buku. Tentu alasan itu adalah sepihak dari sisi pembaca. Penulis memiliki jawaban yang tak terbatas. Jauh lebih luas di dalam dirinya. Di mana mungkin tak ada kata-kata yang mampu mengungkapkannya.

Pada akhir pembacaan Titik Nol, saya serasa diajak 'berjalan' lebih jauh setelah mengenal kehidupan penulis. Pembaca diajak berharu biru dengan kisah mama penulis, merasakan serunya petualangan menjelajah berbagai negara, dimanjakan kisah cinta, merasa dipenuhi dengan pembelajaran kebijaksanaan, juga seakan diajak bercermin akan dirinya sendiri, akan perjalananya sendiri.

Hidup adalah menjalani. Seorang Agustinus Wibowo mencoba membagi hasil sekolah hidupnya. Pejalan ini nampaknya belum akan berhenti menjalani takdirnya untuk menjelajah. Dan semoga saja akan terus berbagi kisahnya dengan semua orang, yang sesungguhnya adalah pejalan untuk kehidupannya masing-masing.



@nabilabudayana
Profile Image for Mia Prasetya.
402 reviews263 followers
March 27, 2013
Catatan perjalanannya tidak banyak menekankan pada petualangan pribadi atau beragam keberhasilan yang dicapainya, melainkan berisi orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanannya. Tulisan-tulisannya lebih memberi penghormatan pada kenangan-kenangan tentang mereka yang telah menyentuh, memperkaya, mencerahkan hidupnya. Merekalah yang menjadi alasan kenapa Agustinus bisa lolos dari zona perang tanpa terluka sedikit pun, melewati wilayah-wilayah sulit dengan mudah, dan melakukan perjalanan panjang dengan dana amat terbatas.

Nilai perjalanan tidak terletak pada jarak yang ditempuh seseorang, bukan tentang seberapa jauhnya perjalanan, tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan.

Lam Li, Oktober 2012.

Kalimat pembuka oleh sahabat Agustinus Wibowo sangat pas menggambarkan buku setebal 552 halaman dan sekaligus menjadi penyebab ia mendapat rating 4 lebih di ŷ. Berbeda dengan Selimut Debu, atau pun buku-buku perjalanan lainnya yang semakin banyak saja kita jumpai di toko buku. Titik Nol terasa sangat hangat. Personal. Menyentuh. Bahkan di beberapa bagian terasa sangat menyesakkan dan bolak balik saya menitikkan air mata. Tidak heran baru rilis beberapa minggu dan sekarang sudah dicetak ulang lagi.

Sampul depan Titik Nol begitu mengundang. Biru cerah dengan anak melompat dari pohon. Bebas. Berani. Nekat. Sebagaimana penulis yang juga pengembara, musafir, you named it. Menurut saya Agustinus Wibowo adalah laki-laki pejalan yang nekat. Perjalannya penuh dengan bahaya, dirampok, sakit keras di negeri orang. Buset dah! Titik Nol menjadi buku bacaan saya saat liburan di Lombok. Malu sendiri sudah heboh kepanasan dan stress ketika merasakan ‘keramahan� penduduk lokal di pelabuhan Bangsal.

Makna sebuah perjalanan.

Tibet. India. Nepal. Afganistan.

Surga. Khailash. Shangri La.

Titik Nol berpusat pada Agustinus Wibowo yang menggabungkan makna perjalanan dan sang Mama yang berjuang menghadapi kanker. Bagaimana kedua hal itu bisa menjadi korelasi yang pas, itulah magnet kuat dan kekuatan penulis merangkai kata sehingga Titik Nol lebih menyerupai buku kehidupan seperti yang ditulis Qaris Tajudin. Justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, ia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini ia abaikan.

Dibedakan dari tulisan tegak yang mengisahkan perjalanan demi perjalanan dan tulisan bercetak miring, pembaca seakan melihat penulis dari dua sisi. Sebagai seorang pejalan yang mencari arti hidup, berpetualang dengan gagah berani dan sekaligus kita melihat Agustinus yang ternyata adalah manusia biasa. Tak lepas dari kecemasan, ketakutan, kesedihan.

Membaca Titik Nol, saya merasa ikut didongengi oleh Agustinus, sebagaimana bab demi bab ia menceritakan kisah Safarnama kepada sang Mama.

Jarak dan waktu memang sempat menjadikan hubungan ibu dan anak ini seperti tuan rumah dan tamu yang saling dipenuhi rasa sungkan. Tapi penyakit ini telah mengubah kami, yang kini tak segan mengucap kata ‘cinta�, berbagi ciuman dan belaian sayang. Penyakit ini membuatku menemukan Mama, mengalami keluarga, memberi makna baru pada rumah. Perjumpaan dan perpisahan, kegembiraan dan penderitaan, semua adalah anugerah. hal 334.

Pramoedya pernah berkata, hidup ini bukan pasar malam. Di tengah pesta kehidupan, kita tidak berbondong-bondong datang. Satu per satu kita datang, satu per satu kita berjalan dan menjelajah, satu per satu kita menciptakan kisah kita masing-masing, hingga tiba saatnya nanti satu per satu kita mengakhiri jalan ini-pulang. (hal 526).

Terima kasih Agustinus, untuk kesediannya berbagi kisah perjalananmu kepada kami. Membaca Titik Nol adalah suatu pengalaman berharga, menelusuri negeri yang mungkin tidak akan pernah saya pijak, terutama lagi mengingatkan saya akan mami di nirwana sana.

Setiap kisah, perjalanan, penantian, perjuangan, pengharapan dan kekuatan, tentu ada batas akhirnya. Dan selama masih ada waktu yang diberikan sang Pencipta, mari bersama kita buat kisah hidup kita berarti.

-Mia-

*edisireviewmepet*
Profile Image for Alvina.
726 reviews120 followers
May 5, 2015

Justru kita perlu bermimpi. Karena mimpi itu yang menentukan perjalanan. Mimpi itu yang mengubah manusia.




Saya ingat ada pepatah yang mengatakan begini, kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan. Rasa rasanya pepatah tersebut bener banget deh.. Apalagi setelah membaca kisah Agustinus di buku ini.

Berbeda dengan dua buku sebelumnya, Selimut debu dan Garis Batas, kali ini ada dua cerita yang secara bergantian diceritakan. Yang pertama adalah kisah ketika Agustinus menjelajahi beberapa negara dalam perjalanannya, yang kedua adalah kisah sekarang saat mamanya sakit tergolek lemah di ranjang menunggu kesembuhan ataupun ajal yang datang. Sambil mendampingi Sang Mama itulah, Agustinus menceritakan perjalanannya, mengembara dari satu gunung ke gunung lainnya, dari satu kota ke kota berikutnya, dan pembaca dibuat luluh oleh ceritanya.


Justru karena masih ada mimpi, kita jadi punya alasan untuk terus hidup, terus maju, terus berjalan, terus mengejar.




Perjalanan kita dimulai dari Kailash di Tibet, gunung yang menjulang sendiri ini menjadi pusat peribadatan tertinggi bagi banyak orang. Mereka mendaki gunung tidak hanya berjalan kaki tetapi sampai berposisi melata di atas tanah. Makin menderita maka mereka merasa ibadahnya akan makin diterima. Tak cukup Kailash, Agustinus masih mencoba lagi keberuntungannya dengan gunung, Himalaya. Yah, mengingat perjalanan sebelumnya cukup membuat Agustinus merana, kali ini ia sadar diri sehingga tidak sampai muluk muluk ke puncaknya.

Tak hanya gunung yang ia jelajahi, Agustinus juga mengajak kita menelusuri India yang kumuh dan kotor. Lalu ke Pakistan, negara Republik Islam yang meskipun wanitanya berpakaian burqa tetap saja ada banyak pelecehan seksual di mana mana. Yang lebih menjijikkan adalah oknum prianya tak hanya menggoda diam diam, tapi juga terang terangan bahkan pada sesama lelaki juga. Naudzubillah.

Saya selalu suka dengan catatan perjalanan yang diceritakan Agustinus. Ia tak hanya bercerita tentang tempat, keindahan alam atau akomodasi yang ia dapatkan, tetapi lebih menekankan pada kehidupan sosial dan budaya yang ia temui. Orang orang yang ia temui, ia jumpai, ia kenal sampai ada beberapa yang malah menjadi akrab. Membacanya membuat saya kadang terharu, tertawa, lalu menangis karena ceritanya yang sendu.


Jadi mama itu di mana mana selalu cerewet, kamu jangan bosan




Sementara Agustinus mengembara di dunia luar, Mamanya harus berjuang memenangkan pertarungan dengan sel kanker yang menggerogotinya. Kanker. Saya akui saya selalu sensitif dengan sesuatu yang berhubungan dengan penyakit ini. Alhasil saat membaca kisah Agustinus dengan Mamanya, saya berkali kali mengelap air mata yang tiba tiba mengalir begitu saja. Antara haru atas perjuangan Sang Mama, tapi sekaligus sedih menyaksikan penderitaannya yang dilukiskan lewat kata kata. Bukan sekali dua kali saya merasa dilema. Sebal karena kenapa si anak tak kunjung pulang meski tahu kalau Ibunya sedang sakit? Tapi sekaligus menempatkan diri sebagai posisi seorang ibu, setiap ibu manapun pasti ingin membahagiakan anaknya. Jadi kalau kebahagiaan anaknya itu adalah perjalanan, pengembaraan yang nun jauh di negeri antah berantah, mana mungkin sang Ibu tega menyuruhnya pulang?

Buku Titik Nol ini kembali mengingatkan saya akan bentuk kepasrahan yang sesungguhnya. Bahwasanya setiap individu memiliki titik nolnya masing masing. Dan setiap tragedi kemanusiaan yang diceritakan di buku ini membuat saya merenungkan dalam hati. Sudahkah saya menemukan Titik nol saya sendiri?

Sebuah buku yang apik dan menyentuh hati pembacanya. Terima kasih karena sudah mau berbagi, Agustinus.
Profile Image for Primadonna.
Author49 books373 followers
March 16, 2013
Banyak kata dalam buku ini yang membuatku merenung, memikirkan apa arti perjalanan dan hidup. Kadang kupikir sudah tahu, tapi selalu bagus untuk kembali mengingat dan memikirkannya.

Aku dibuat terharu dan terpikat. Dan ketika membaca ibunya meninggal karena kanker... aku pun menarik napas dalam2, karena aku teringat sahabatku yang mungkin usianya tak lama lagi, juga karena kanker.

Indah dan puitis, dan menggelisahkan sekaligus mencerahkan. Itulah ciri-ciri khas tulisan Agustinus yang sudah kutemui selama ini.

Profile Image for Marina.
2,033 reviews348 followers
January 24, 2015
** Books 30 - 2015 **

Buku ini untuk memenuhi tantangan New Author Reading Challenge 2015, Yuk Baca Buku Non Fiksi 2015 dan National Readathon Day 2015

4,4 dari 5 bintang untuk buku ini


Huwaaa! Buku ini kerenn bangeet! mata saya sampai tidak bisa lepas membacanya.. *telat kan ya saya membaca buku ini.. untung udah punya buku kurang yang

Buku ini memuat perjalanan Mas Agustinus Wibowo mulai dari china hingga pergi ke Pakistan.. Sungguh sangat mengiris hati ketika perjalanan sampai di Pakistan dan Afghanistan.. konflik2 disana membuat saya tercekam.. konflik India dan Pakistan yang tiada berkesudahan habisnya membuat saya terdiam dan jadi melakukan renungan panjang.. >__<

Ada kata-kata yang menjadi renungan bagi saya :

"Ini adalah sebuah kotak pandora. Agama bisa jadi rahmat semesta alam, tapi agama juga bisa jadi pembunuh yang paling kejam. Agama bisa membuat manusia tahu akan dosa dan segala kelemahannya, tapi agama juga bisa menjadikan manusia merasa sehebat Tuhan. Agama mengajarkan cinta dan kasih sayang, namun karena agama pula dendam dan kebencian bisa berkobar.

Agama bisa bangkitkan kebudayaan, tapi agama juga mungkin hancurkan peradaban. Agama bisa jadi hubungan yang paling tulus antara manusia dengan Sang Pencipta-nya, agama bisa pula jadi identitas dan senjata ampuh demi puaskan nafsu dan keserakahan. Agama boleh mempersatukan ummah, tapi mungkin juga malah memecah belah manusia yang mengotak-ngotakkan siapa kita siapa mereka.

Agama bisa menjanjikan damai dan keselamatan, namun juga bisa menjelma jadi tragedi penindasan barbar ketika orang-orang merasa hanya dirilah yang paling murni, paling suci, paling benar" - Agustinus Wibowo (Halaman 458)
Profile Image for Stebby Julionatan.
Author15 books54 followers
July 20, 2013
MENJADI BIJAK LEWAT PERENUNGAN MAKNA PERJALANAN

Judul Buku : TITIK NOL, MAKNA SEBUAH PERJALANAN
Jenis : Catatan Perjalanan
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kedua, Maret 2013
Tebal : xi + 552 halaman
ISBN : 978-979-22-9271-8
Peresensi : Stebby Julionatan *)


Apa makna perjalanan bagi Anda? Mengunjungi tempat-tempat baru? Pamer foto atau cerita kalau Anda sudah pernah kesana? Menambah koleksi stempel pada paspor? Atau sekedar rekreasi saja, memanjakan diri dengan menikmati keindahan alam atau daerah-daerah yang eksotis, berikut kelezatan kulinernya dan menggerutu jika perjalanan tersebut tidaklah sesuai dengan yang Anda inginkan?

Tapi... pernahkah Anda –atau saya, benar-benar memaknai sebuah “perjalanan�? Dan apa perbedaannya dengan wisata? Dengan melancong? Apakah mereka sama? Atau justru sangat jauh berbeda?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dicoba dipaparkan, direnungkan dan dijawab oleh Agustinus Wibowo dalam buku catatan perjalanan terbarunya, Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan.

Perjalanan dan Wisata. Terkadang kita memang acapkali terjebak pada dua pengertian itu. Dua pengertian yang sangat intim laksana sepasang saudara kembar. Saling bersinggungan, melebur dan saling mengakrabi satu sama lain. Namun, pada titik yang sama, keduanya bisa saja menempati dua kutub yang berbeda. Mengancam, berseberangan dan saling memangsa.

Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan mengajak kita untuk menghayati keduanya. Dua orang saudara kembar yang tampaknya harmonis di luar, tapi (rupanya) saling memakan satu sama lain. Tak heran kalau Agustinus menyebutnya sebagai “penjajahan�:

Penjelajahan dan penjajahan. Bukan sekedar kebetulan linguistik semata kalau kedua kata ini bermiripan.... (hal. 181). Bukan kebetulan pula, kedua kata ini dalam kamus bahasa Indonesia adalah sinonim. Kita, yang dengan bangga menyebut diri sebagai penjelajah, pada hakikatnya juga adalah penjajah. Kita, bertopeng sebagai traveler atau backpacker yang menjanjikan kemakmuran ekonomi bagi mereka, sebenarnya adalah juga imperialis yang berdalih menikmati surga di bumi dengan harga murah meriah. Turisme telah menjadikan tempat-tempat sebagai “atraksi�: “where to go� dan “what to see�, bagaikan kebun binatang manusia, dengan semua kandang menampilkan eksotisme masing-masing. Tradisi yang mati dihidupkan, yang hidup dikemas ulang supaya jadi paling memikat, biarpun palsu yang penting laku... (hal. 182)

Malah dalam sebuah percakapan bersama rekan seperjalanannya, Jorg, Agustinus sepakat bahwa “berwisata� seperti sedang melakukan bisnis prostitusi. Sebuah sampah kultural.

“Eksploitasi turisme eksotis itu bagaikan gadis cantik yang menjual diri! Prostitusi!� kata Jorg. “Lihat saja, si gadis itu dapat uang dari orang-orang yang menikmati kemolekan tubuhnya. Dia menikmati kekayaan itu. Dari uang itu, dia bisa beli baju bagus dan kosmetik, dirinya pun cantik.�

“Ya,� kataku, “Tapi bisa saja suatu hari dia sadar, betapa banyak kerusakan yang dialaminya selama ini.�

Ya, Jorg mengangguk, itu memang satu kemungkinan. Tapi mungkin juga, dia tidak bisa berhenti, karena godaan uang itu terlalu kuat dan dia tak bisa bertahan hidup tanpa uang itu. Sampai akhirnya eksploitasi itu membuat dia tak lagi cantik, lalu ditinggalkan dan dilupakan orang. (hal. 183)

Renungan itu masih berlanjut pada:

Turisme adalah hubungan simbiosis dengan dilema buah si malakama. Turisme memang bawa madu berupa uang dan pembaharuan, pembangunan infrastruktur dan ekonomi, pertukaran ide dan perubahan pola pikir. Turisme mengajarkan penududk untuk menghargai kultur mereka sendiri, mensyukuri rahmat yang mereka punya sejak sedia kala. Tapi jangan lupa, turisme juga membawa sekalian berbagai jenis racun: nafsu mengeruk keuntungan, ketidakjujuran, materialisme, sifat ada-uang-ada-senyum, standar ganda, komersialisasi budaya, hedonisme, pelacuran, pengemis, narkotika, kriminalitas, sampah, perusakan lingkungan, degradasi moral, penipuan, pemalakan, agresivitas, korupsi, eksploitasi, mimpi-mimpi kosong, pertapa “suci yang selalu berseru One dollar. Tak perlu menunggu lama, diskotek dan kerlap-kerlip kehidupan malam pun sudah merambahi kaki gunung Annapurna. (hal. 183-184)

Lalu, bagaimanakah seharusnya kita melakukan perjalanan?

Dengan tidak serakah. Masih dalam catatan perjalanannya, tanpa kesan menggurui, dengan idiom-idiom yang halus, Agustinus mengutip perkataan seorang legenda backpacer dunia, Maurice Herzog. “Selalu ada Annapurna-Annapurna lain dalam kehidupan manusia.� Monster-monster raksasa dalam kehidupan manusia bukan hanya gunung. Bukan hanya perjalanan atau penahlukkan, tapi juga mimpi mipi dan cita-cita manusia yang rakus.

Buku catatan perjalanan ini, yang oleh Agustinus disebut sebagai Safarnama sungguh berbeda dengan buku-buku catatan perjalanan lainnya yang pernah saya baca. Titik Nol, Makna Sebuah Perjalanan bukanlah sebuah buku catatan perjalanan yang berisi mau ke sini naik apa, dengan apa dan bayar berapa. Titik Nol penuh dengan dongeng-dongeng indah khas 1001 Malam yang membat kita tak henti-hentinya merenung.

Titik Nol dimulai dari perjalanan Agustinus dalam kereta penuh sesak dari Beijing menuju Xinjiang. Titik nol menuju negeri bernama Tibet. Dari sana, kemudian kita diajak untuk melihat Surga di Himalaya, menjalani romansa bersama rekan seperjalanannya, Lam Li di India. Merasakan sakit dan keterasingan –namun justru limpahan perhatian dan kasih sayang dari orang-orang, di Pakistan. Tak luput, tingginya toleransi beragama di Kashmir dan latar belakang perjalanannya ke Afghanistan juga dikisahkan tersendiri oleh Agustinus ke dalam 2 bab terakhir di buku ini.

Simak saja:

Yunus memperkenalkan dirinya padaku hanya sebagai “Muslim�, tanpa embel-embel lain. “Tak perlu kau tanya aliran apa, sekte apa, mazhab apa. Sunni atau Syiah sama saja. Islam, cukup Islam, bas! Titik! Agama memang penting, agama adalah arah perjalanan hidup, tapi jangan sampai, agama justru membunuh kemanusiaan. (hal 443)

dan juga kutipan paragraf yang menerangkan kecintaannya pada Afghanistan ,

....Aku termabuk oleh Afghanistan, negeri misterius yang senantiasa menyajikan kejutan pada setiap langkah.

Cita-citaku semula adalah menggapai Afirka Selatan. Itu berarti, negara berikutnya adalah Iran, Turki, lalu berbelok ke Suriah, Yordaniah, Mesir, dan sampailah aku ke tanah Afrika yang kuidamkan. Tapi, aku tak ingin lagi buru-buru. Magnet Asia Tengah terlalu kuat. Mulutku sudah berucap bahasa kuno Persia, hatiku dipenuhi bait-bait puisi ala sufi, fantasiku adalah legenda Sohrab dan Rustam. Biarlah negeri-negeri lain menunggu, toh aku tak dikejar-kejar batas waktu. Bukannya melangkah meneruskan rute yang rasional itu, aku malah tertarik pada sang Amu Darya, sungai akbar legendaris yang mengiring peradaban sejarah manusia hingga ribuan tahun, memisahkan negeri-negeri antah-berantah di Asia Tengah. Kuputuskan untuk bergerak ke utara, menyeberang Sungai, menembus perbatasan republik-republik baru: Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan. Perjalanan di pecahan Uni Soviet menyuguhkan tantangan ala film laga, semakin membangkitkan adrenalin dengan debar petualangan..... (hal. 471)

Rasanya salah deh kalau buku ini diklasifikasikan sebagai buku perjalanan. Ini bukan buku catatan perjalanan. Ini buku spiritualitas. Atau malah sastra ya, ujar batin saya berontak. Sebab sepanjang 552 halaman, Agustinus ini tak hanya mengajak kita pergi atau melongok sebuah tempat dari titik-titik ambisinya akan penahlukan keindahan tetapi juga menyelami kehidupan –yang acapkali jauh dari keindahan, yang ada di sana. Titik Nol adalah sebuah pengembaraan yang jauh dari hiruk pikuk . Sebuah perjalanan spiritualitas.

Seperti sempat dikatakan dalam sebuah acara bedah buku, Titik Nol adalah “semacam� pre-kuel dari dua buku Agustinus sebelumnya: Selimut Debu dan Garis Batas. Dengan gaya penceritaan yang berulang-alik antara kondisi di rumah ketika Agustinus memutuskan pulang karena Sang Ibunda sakit keras dengan pejalanan-perjalanannya di negeri-negeri antah berantah, buku ini membawa kita pada penelurusan yang lebih jauh mengenai apa makna pejalanan yang sebenarnya.

Ma,
Safarnama itu bukan melulu tentang kisah-kisah eksotis. Perjalanan bukan hanya soal geografi dan konstelasi, perpindahan fisik, lokasi dan lokasi. Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri dari sudut yang selalu baru, adalah menyadari bahwa Titik Nol bukan berarti berhnti di situ. Kita semua adalah kawan seperjalanan, rekan seperjuangan yang berangkat dari Titik Nol, kembali ke Titik Nol. Tikik nol dan titik akhir itu ternyata adalah titik yang sama. Tiada awal dan tiada akhir. Yang ada adalah lingkaran sempurna, tanpa sudut, tanpa batas. Kita jauh melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali. (hal. 547)

Melalui mamanya yang tak pernah kemana-mana, melalui pengalaman menemani dan merawat mamanya saat sakit, Agustinus justru menemukan makna itu:

Ma,
Saat masih muda dulu, aku pernah bercita-cita untuk mngubah dunia. Tapi perjalanan panjang ini telah menyadarkanku, aku bukanlah siapa-siapa di hadapan kuasa alam. Biarlah alam terus mengajarkan ilmunya, bukan aku yang mengubah dunia, tetapi dunialah yang mengubahku.

Aku memang telah pergi ke negeri-negeri jauh, untuk menulis tentang kisah orang-orang yang selama ini tak bersuara. Aku pulang, untuk mendengar cerita-cerita dari seorang ibu yang selama ini juga tanpa suara. Walau tak pernah ke mana-mana, di matamu yang terpejam dalam kedamaian itulah, kutemukan semua jawaban misteri perjalanan. Di sana terlukis angkuhnya Himalaya, kerasnya Amu Darya, lembutnya pasir Taklamakan. Di wajahmu kutelusuri panasnya Punjab, kemelut Kabul, alunan mantra Tibet, sukacita tarian India. Pada ceritamu, kuresapi kesabaran tanpa tapal batas dari langit biru, nyanyian merdu desau angin padang gersang, kebahagiaan burung-burung berkicau menyambut mentari.

Kau memang tak perlu ke mana-mana. Kau telah lewati ini semua. Kau ajarkan, perjalanan adalah menghargai hidup, mencintai hidup, merayakan hidup, mewarnai hidup, memberi makna pada setiap menit, setiap detik, setiap embusan napas. Kau tak pernah menyerah, bahkan hingga embusan terakhir, kaulah sang pemenang. (hal. 546)

Titik Nol, bagi saya adalah buku yang nyaris tanpa cela. Sebuah buku yang lengkap. Renungan, spiritualitas, motivasi, sastrawi, fotografi, fiksi dan non-fiksi semuanya berkelindan indah di dalamnya. Dan rasanya tak berlebihan jika buku catatan perjalanan yang juga dilengkapi dengan karya-karya fotografi jurnalistik yang indah nan memukau milik Agustinus Wibowo sendiri ini, tanpa ragu saya masukkan ke dalam daftar salah satu buku terbaik di abad ini. Buku yang membuat kita terkadang miris dan terkadang senyum-senyum sendiri sambil berujar, “Oh, ini toh maknanya manusia disunahkan untuk terus bergerak, berpejalanan.� Buku yang bener-benar membuat siapa saja, para pembacanya, menjadi bijak. (tby)
Profile Image for Zulfy Rahendra.
284 reviews71 followers
May 14, 2013
Saya percaya, hidup bergantung dari bagaimana cara kita memandangnya, menyikapinya. Hidup adalah cermin. Perjalanan adalah sudut pandang. Ribuan orang melakukan perjalanan, berkeliling dunia. Akan ada ribuan kisah. Ribuan makna perjalanan yang didapat. Jutaan kenangan. Tapi mungkin, sedikit pemahaman tentang sebuah perjalanan. Semuanya bisa jadi berbeda. Ratusan menuliskan kisahnya. Kadang sekadar “aku udah pernah ada di tempat ini�. Puluhan orang mengungkapkan arti perjalanannya, kadang sekadar “tempat ini begini karena bla bla bla, berbeda dengan negeri sendiri yang bla bla bla�. Ada yang melakukan perjalanan hanya untuk titel dan label. Tersisa sedikit yang seperti Agustinus Wibowo, yang memaknai perjalanannya dalam perenungan dalam, kemudian menuliskannya dengan kalimat-kalimat indah.

“Safarnama itu bukan melulu tentang kisah-kisah eksotis. Perjalanan itu bukan hanya soal geografi dan konstelasi, perpindahan fisik, lokasi dan lokasi. Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri dari sudut yang baru, adalah menyadari bahwa Titik Nol bukan berarti berhenti di situ...�

Mungkin karena Agustinus tidak melakukan perjalanan dengan tujuan mencari hiburan dan refreshing. Mungkin karena cita-citanya adalah berguna bagi sesama, yang ia lakukan dengan cara menulis kisah hidup manusia yang sering kali dilupakan, kisah hidup di tempat terpencil, kisah tentang kemanusiaan. Mungkin karena Mamanya sakit, sehingga dia “dipaksa� pulang untuk kemudian sadar betapa mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah perjalanan, untuk kemudian mencari “hasil� perjalanannya. Dan apakah semuanya sepadan?

“Ma,... Walau kau tak pernah kemana-mana, di matamu yang terpejam dalam kedamaian itulah, kutemukan semua jawaban misteri perjalanan.�

Agustinus bercerita kepada Mamanya yang terbaring di ranjang rumah sakit, tentang perjalanannya, tentang safarnamanya. Inilah, menurut saya, yang membuat buku ini melesat ke kasta bintang tinggi di ŷ. Jarang sekali (mungkin belom ada, atau saya aja yang belom baca) penulis yang menuliskan perjalanannya dengan cara seperti ini. Menegangkan (karena tempat-tempat yang dikunjungi tidak biasa), filosofis (karena setiap jejak yang dibuat di suatu tempat selalu mengajarkan sesuatu dan sarat makna), sekaligus sentimentil (karena setiap kisah dihubungkan dengan sang Mama) di saat yang bersamaan. Mengilas balik seluruh perjalanannya, mengilas balik seluruh kenangannya bersama Mama, mencari makna, mencari alasan bahwa perjalanan ini berarti. Bahwa perjalanan ini tidak sia-sia. Bahwa perjalanan ini mungkin layak dan sepadan dengan mengorbankan jarak dengan sang Mama. Agustinus tidak hanya bercerita tentang petualangannya mengunjungi wilayah-wilayah sulit dan sarat konflik, tapi juga berkisah tentang perenungan dirinya mengenai apa yang dia dapat dari perjalanan itu. Sehingga kisah ini jadi terasa sangat dekat, sangat pribadi, sangat menyentuh, dan yang jelas buat saya sendiri sangat membuat saya ikut merenung. Bagian yang paling membuat saya salut adalah bab Dalam Nama Tuhan. Dimana Agustinus sangat berani menceritakan masalah yang sangat pribadi dengan topik yang sangat sensitif dengan pemikiran yang sangat lugas dan terbuka. Foto-foto hasil jepretan Agustinus juga ikut melengkapi indahnya buku ini. Foto yang bukan sekedar bukti bahwa "aku pernah menginjakkan kaki di tempat ini", melainkan foto yang "berbicara".

“Nilai perjalanan tidak terletak pada jarak yang ditempuh seseorang, bukan tentang seberapa jauhnya perjalanan, tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan... Dengan menceritakan kisah-kisah mereka dan merefleksikan pelajaran-pelajaran dari orang-orang yang ditemuiunya dalam perjalanan, Agustinus juga memberi arti pada apa yang sesungguhnya ia peroleh dari petualangannya di negeri-negeri jauh...... Ia juga membantu para pembaca merasa ikut terhubung dengan orang-orang di negeri-negeri jauh di sana yang dalam kenyataannya tak pernah mereka temui.�

Begitulah menurut Lam Li, seorang sahabat, teman seperjalanan Agustinus tentang catatan perjalanannya. Saya sangat setuju dan memang persis seperti itulah yang saya rasakan. Perjalanan ke Tibet, mencari Shangri-La yang ternyata adalah surga religi yang sudah bercampur dengan “matrealisme dunia dan utopia sosialis�. Perjalanan ke Nepal, dimana Agustinus merasa menemukan rumahnya, “surga”nya, namun kemudian lelah dengan kenyamanan surga itu. Penaklukan Himalaya. Perjalanan ke India, negara penuh paradoksal yang tingkat kemiskinan dan indeks kebahagiaannya sama tingginya serta sangat jauh dari keindahan gambaran film Bollywood. Perjalanan ke Pakistan, negara ramah dan santun dimana segalanya, mulai dari menyiksa diri, pemberian batas yang keras pada gender, kerusuhan dan demonstrasi, sampai urusan politik dilakukan atas nama Tuhan. Perjalanan ke Afghanistan, mungkin yang paling menghentak nurani saya. Negara yang dipenuhi tragedi dan penderitaan, namun justru punya supermagnet yang menarik para jurnalis, fotografer, pembuat film, penulis, petualang, pesepeda, backpacker, pengusaha, konsultan, investor, banyak orang dengan agenda masing-masing. Negara yang dipenuhi tragedi dan penderitaan yang seharusnya bisa menambah peka nilai-nilai kemanusiaan, namun sering kali malah membunuh rasa kemanusiaan.

“Perjalanan adalah belajar untuk melihat dari berbagai sudut pandang, memahami sudut pandang, dengan menjadikan mereka --orang-orang biasa dalam kehidupan biasa-- sebagai tokoh utama kisah.�

Benar, bahwa saya merasa ikut terhubung dengan orang-orang di negeri-negeri nun jauh disana yang mungkin tidak akan pernah saya temui. Benar, bahwa saya belajar dari tulisan Agustinus. Dan Agustinus belajar, langsung dari orang-orang yang ditemuinya, langsung dari kehidupan. Tentang kehidupan, kematian, ketakutan, empati, simpati, ironi, berbagi, rasa sakit, kehilangan, pencarian, perjuangan, harga diri, kebijaksanaan. Berapa banyakkah yang menyadari bahwa perjalanan sesungguhnya adalah sebuah pembelajaran untuk menatap cermin?

“Dalam perjalanan, memang pada awalnya kita belajar menghilangkan diri, tapi pada akhirnya kita justru menemukan diri, dan menjadi diri. Di awal perjalanan kita melihat negeri-negeri yang antik dan eksotik, tapi semakin lama kita berjalan, yang kita lihat justru adalah gambaran kemanusiaan kita sendiri. Di awal perjalanan, kisah berpusat pada “aku� dan selalu “aku�, namun perlahan-lahan si “aku� meredup, berganti dengan mereka.�

Kebanyakan kisah perjalanan yang ada sekarang masih berpusat di “aku�, sepertinya. :)

Setelah berjalan begitu jauh, Agustinus harus mengakhiri safarnamanya dengan pulang. Kembali ke tempat ia memulai. Ke titik nol. Menghadapi penyakit kanker Mamanya, kisah-kisah perjalanannya selama ini, seketika semua jadi tanpa arti.

“Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. Tiada kisah yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang.�

Pada akhirnya, apakah perjalanan selama ini sepadan? Mungkin hanya mas Agustinus yang tau. Tapi saya termasuk orang yang bersyukur karena mas Agustinus telah melakukan perjalanan-perjalanan ini. Menerjang limit diri sendiri. Kemudian memutuskan untuk menuliskannya. Terima kasih, Ming. Terima kasih telah berbagi. Terima kasih telah menjadikan perjalananmu menjadi perjalananku. Telah membuat saya dapat “melihat dunia�. Telah bersedia meminjamkan mata, membagi pemikiran dan pelajaran, membuka hati, kepada saya, kepada kami. Sungguh terima kasih.



P.S.: kalo review saya kali ini agak berbunga-bunga bahasanya, maklumilah. Masih kebawa suasana sama tulisannya mas Agustinus �
P.S. 2 : maaf kebanyakan ngutip kata-kata di bukunya. Review ini sebenernya ga ngejelasin apa-apa tentang kelebihan ataupun kekurangan (ada ga ya?) buku ini. Inti dari review (yang nyaris ga ada tulisan saya mengenai isi bukunya) ini adalah.... bukunya keren. Highly recomended. Baca aja.
P.S. 3: panjang amat pi, P.S. 2 nya..
P.S. 4 : udah ga ada yang sudi nerusin baca review ini.
Profile Image for Lailaturrahmi.
154 reviews18 followers
February 1, 2017
Alhamdulillah, akhirnya selesai juga.

Sama sekali tidak terpikir untuk membaca buku ini dan bertahan menyelesaikannya. Perjalanan, yang bagi saya awalnya identik dengan kemewahan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang yang beruntung, ternyata dimentahkan oleh buku ini.

Agustinus Wibowo membuktikan bahwa perjalanan bukanlah sekadar menjejakkan kakimu di bandara-bandara kelas dunia, destinasi wisata yang indah, mereguk adrenalin dengan olahraha ekstrem, menghabiskan siang dan malam dengan bersenang-senang, melainkan suatu perpindahan sirkular dari dan ke titik nol. Titik nol itu bisa saja diri yang bukan siapa-siapa, pengalaman dipukul mundur ke garis perbatasan, atau justru rumah.

Di dalam buku ini, pembaca akan diajak untuk ikut menyaksikan perjalanan sang penulis dari China, Tibet, Nepal, India, Pakistan, hingga Afghanistan sebelum akhirnya kembali ke kampung halaman, titik nol, meminjam istilah penulis. Perbedaan kontur, iklim, etnis, kebiasaan masyarakat setempat turut mewarnai perjalanan penulis, selain pengalaman buruk, penyakit, teror, dan bencana alam yang sesekali menghinggapi negeri-negeri yang, (maaf), identik dengan sengketa, kesenjangan, dan konflik itu. Selang-seling dengan cerita perjalanan penulis, ada kisah yang melingkupi keluarganya di tanah air. Kombinasi yang apik, dengan alur yang bolak-balik ini, tidak membuat pusing, malah saling mengisi.

Yang membuat buku ini terasa berbeda adalah sosok sang ibunda yang turut menjadi poros cerita serta membentuk perjalanan sang penulis, entah secara langsung maupun tidak. Saya menangkap bahwa penulis banyak merefleksikan pengalaman-pengalamannya selama di perjalanan pada dirinya sendiri, yang akhirnya tidak terlepas dari sosok ibunda. Entah itu soal perjuangan, mimpi-mimpi, bahkan cara memandang persoalan.

Terakhir, kalau saya boleh jujur, buku ini membuat saya beberapa kali menengok globe mini, sekadar untuk membayangkan lokasi negara-negara yang dikunjungi penulis. Saya baru sadar kalau Pakistan itu terbagi dua, dengan India di tengahnya, juga bahwa Tibet lebih luas dari yang saya bayangkan, selain bahwa Afghanistan berbatasan langsung dengan Pakistan dan Iran.
Profile Image for mahatmanto.
537 reviews38 followers
March 7, 2016
di sini penulis berusaha tidak sekadar menjadi reporter.
tulisannya diusahakan reflektif.
bingkai yang dipilih adalah semacam rasa bersalah yang bercampur dengan rasa syukur yang berlimpah. apakah rasa bersalah meninggalkan ibu dan menghabiskan harta itu sepadan dengan kekayaan hidup berjalan mengelilingi bumi?
di titik nol, titik tempat kita bisa mengatakan pergi dan sekaligus pulang, penulis memperlihatkan keduanya: risiko yang harus diambil untuk mendapatkan kekayaan pengalaman hidup. dan buku ini buahnya.
kisah yang menarik [bagi saya yang jarang berani bertualan] disusuli dengan banyak foto yang ciamik. foto-fotonya sendiri keren, bagus-bagus.
tapi semua kisah penjelajahan yang menarik itu -bagi saya- selalu dihantui oleh pembukaannya yang cenderung merasa bersalah kepada ibundanya. perasaan bersalah ini menular pada saya pembacanya, sehingga tiap kali hendak menikmati kegembiraan advonturirnya, ingatan akan rasa bersalah itu hadir lagi.
saya belum selesaikan baca,
mungkin gak akan sampai selesai, karena makna pergi dan pulang itu sudah tertangkap jelas.

buku ini saya terima dari roos yang sudi memintakan tandatangan penulisnya, dan mengirimkannya ke bantul. kamsiah ban-ban yaaa ndhuk!
Profile Image for mellyana.
319 reviews17 followers
September 3, 2014
It is hard to find Indonesian writer like him. Travelling books are full of tips and tricks, places to see, food to eat, things to do. This book tells different story. It is about places and people life. Story of history.

If you are looking for a guide book, don't read this. It's a very personal story of one Agustinus. The book asks questions instead of gives answer. Question about life and journey. You can't copy-paste his journey.

I can feel his journey. Everything he wrote felt so real, as if I was there. It gives you Tibet, Nepal, India, Pakistan, Afghanistan through very personal way.

I like his Bahasa Indonesia words. I enjoy the pictures. This is a kind of book I'd like to give to people as a gift.
Profile Image for Asuka Mai.
586 reviews30 followers
November 30, 2017
Setelah saya membaca buku ini saya jadi ingin membaca dua buku lainnya dari beliau : " Selimut Debu" dan " Garis Batas". Ah! Ada perasaan menyesal kenapa menunda-nunda buku ini.

Buku ini tidak hanya berkisah perjalanan Agustinus Wibowo di negeri Tibet, Nepal, India, Pakistan, Kashmir dan Afganistan. Ia menuangkan perasaan hatinya tentang Ibunya yang kini menderita kanker. Foto-foto perjalanan Agustinus yang ia potret pun tertuang dalam buku ini. Tak diragukan lagi, hasilnya cantik dan rasanya kita ikut merasakan petualangan Agustinus di beberapa negara tersebut.

Bisa aku simpulkan setelah membaca buku ini, bahwa aku suka tulisan Agustinus Wibowo!
Profile Image for Haryadi Yansyah.
Author13 books59 followers
April 2, 2013
Semangat yang meredup itu memang lebih membunuh daripada fisik yang remuk redam,� Agustinus Wibowo.

Sejauh ini, sudah jutaan langkah dilakukan oleh Agustinus Wibowo–Abang Ming (izinkanlah aku memanggilnya begitu) dalam melakukan perjalanan dan pencarian makna hidup. Tanah tandus, bukit berdebu bahkan lereng bersalju sudah ia cicipi semua. Ratusan orang dan ribuan kisah tertanam di benaknya. Apakah ia menyerah? Iya! Namun, ketika ia menyerah seketika itu pula semangatnya timbul dan kakinya kembali diayunkan.


Namun, ini perjalanan yang berbeda. Ini adalah perjalanan pulang. Kembali menuju sebuah tempat yang ia sebut rumah. Dimana orang-orang yang memanggilnya ‘anakku sayang�-‘kakak keterlaluan� tinggal. Demi Ibunda, perjalanan sementara harus diakhiri. Ibunya terbaring lemah, dan –walau tanpa tersirat jelas, sangat membutuhkan dia.

Masihkah aku punya muka menemuinya, setelah membiarkannya hidup dalam penantian dan kekhawatiran begitu lama?� hal.5. Ya, pasca mendapatkan nilai terbaik dan meraih gelar sarjana di Beijing-Cina, bukannya pulang ke Indonesia, Abang Ming malah memilih berkelana dan menepis kesempatan kerja di perusahaan besar. Ia keluar dari zona nyaman dan berjalan mengikuti arah angin hingga 10 tahun lamanya.

Dengan dana terbatas, tujuannya yang pertama adalah ke kota Urumqi dengan total perjalanan 40 jam di atas kereta. Perjalanan itu harus ia dilalui dengan bangku keras dengan sadaran tegak lurus. Kereta yang penuh sesak membuat Abang Ming harus duduk selama perjalanan. Jangan harap bisa meluruskan kaki karena lorong kereta pun sudah penuh sesak dengan manusia.

Tapi, perjalanan terus berlanjut. Tak semudah itu untuk ia menyerah. Abang Ming berjalan bersama mimpi-mimpinya. �Justru karena masih ada mimpi, kita jadi punya alasan untuk terus hidup, terus maju, terus berjalan, terus mengejar. Tanpa mimpi sama sekali, apa pula arti hidup ini?� hal. 65. Pengelanaannya terus berjalan dan terhenti di Kailash, sebuah tempat yang Abang Ming sebut sebagai, “� perjalanan untuk merasakan kematian.� Hal.54. Iya, di sini, di puncak gunung yang ditutupi lapisan es, ia mempertaruhkan segalanya�


Gunung Kailash dari kejauhan

Ketika mimpi indah tak terpenuhi, manusia harus belajar menerima,� Hal.102.

India� film-film bollywood yang menjamur di tanah air menggambarkannya dengan begitu indah. Kuil-kuil megah, pakaian-pakaian indah, alam nan rupawan� ternyata India tak seindah yang diduga. Di India Abang Ming harus merasakan sakit. Sakit yang disebut oleh sebagian besar para pengelana adalah tanda akhir sebuah perjalanan. �Perjalanan tanpa makna bagaikan rumah tanpa roh. Hanya wujud yang tanpa jiwa,� hal. 135. Tapi, seperti biasa, tubuh Abang Ming terlalu tangguh untuk digulingkan oleh sebuah penyakit. Raganya yang terluka tak separah hatinya yang perih mendapati begitu banyak orang-orang di India yang terlantarkan. Kering kerontang di sudut-sudut jalan, sendiri menunggu malaikat maut menjemput.

Begitu sebuah tempat disebut surga, segera pula dia akan disebut sebagai neraka.� Hal. 185.

Keindahan India, dibalik ironi yang ada.

Episode selanjutnya ialah jejak langkah menuju Pakistan. Titik perjuangan kembali dimulai. Dari betapa sulitnya mendapatkan izin masuk, hingga terkepung ditengah-tengah barisan para demonstran. Orang-orang begitu beringas tak kenal ampun. Penghinaan terhadap agama dijadikan pegangan untuk berbuat apa saja. Menghancurkan wajah-wajah Amerika sudah menjadi hal yang biasa. Wajah perekonomian yang mencerminkan negara adidaya diubah menjadi abu. �Mereka benci Amerika, namun cinta dolarnya,� sebuah ironis membentang di sana.

Sekali lagi, kehidupan di Pakistan seperti fatamorgana. Muka-muka marah itu sesungguhnya tak bisa menutupi sifat asli penduduk di sana. Abang Ming bahkan berani berkata bahwa orang Pakistan adalah salah satu penduduk paling ramah sedunia. Mereka sangat memuliakan tamu. Bagi mereka, membahagiakan musafir itu adalah salah satu cara memuliakan agama. Luar biasa! �Aku datang di Pakistan di tengah kemelut penyakit fatal, tapi Pakistan justru menyambutku dengan bercangkir-cangkir teh, pelukan hangat, kibaran jubah gamiz…� Hal.311

Titik Nol adalah sajian kehidupan. Terlalu banyak hal yang bisa diceritakan. Rasanya, barisan kata yang tersaji di ulasan ini tidak akan pernah bisa menggambarkan secara utuh pesona buku ini. Kelebihan lain dari buku ini adalah Abang Ming mau bercerita tentang keluarga. Menjadikan buku semakin lengkap dan bermakna. �Perasaan kasih antara orang tua dengan anaknya, apa pun latar belakang bangsa dan budaya, dimana-mana adalah sama.� Hal. 330

Perjalanan, dimanapun itu dilakukan tak pernah bisa memabukkan para pelakon hingga melupakan tanah air. �Indonesia memang bukanlah negeri yang sempurna, namun perjalanan membuat aku semakin menghargai tanah airku sendiri, bangsa dan identitasku, masa lalu dan hari depanku.� Hal 414. Pada akhirnya, di Indonesia pulalah Abang Ming kembali. Kembali ke pelukan Ibu pertiwi di tengah-tengah keluarga yang saling mencintai –bagaimanapun sikap mereka diperlihatkan.

Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dilalui semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali.�

Catatan : Ulasan ini juga dimuat di blog pribadi saya yang ada di

Profile Image for Sharulnizam Yusof.
Author1 book92 followers
November 20, 2018
Buku paling lama dibaca. Bermula 14 Ogos sampailah ke hari ini, 20 November.

Tulisan Augustus untuk buku ini sangat berbeza berbanding dua buku yang pertama. Kali ini lebih bercerita pengembaraan rohani perjalanan hidup. Diselitkan dengan cerita pemergian ibu beliau yang menderita sakit kanker. Sesuai dengan tajuknya; Titik Nol Makna Sebuah Perjalanan.

Ini genre buku yang mula mendapat tempat di hati saya. Kisah kembara, tetapi tidak nampak "kembaranya". Maksud saya, bukan tipikal buku kembara yang menekankan nama tempat, nama jalan, harga makanan atau di mana hotel paling murah. Buku ini adalah "travel stories". Cerita bagaimana beliau bergaul dan hidup seperti rakyat tempatan, dan bagaimana setiap satunya memberi iktibar.

Orang rajin mengembara, harus baca buku seperti ini. Agar pulang membawa cerita, bukan hanya kepingan-kepingan selfie.

Mungkin boleh mulakan dengan buku tempatan seperti buku-buku Ustaz Hasrizal.

5 bintang!

______
Sharulnizam Mohamed Yusof
Mahu kembara lagi
Profile Image for Yuliani Liputo.
Author26 books25 followers
December 27, 2013
Sungguh senang sudah menamatkan Titik Nol. Buku ini pertama mulai saya buka pada Agustus dan baru ditamatkan Desember 2013. Mengapa begitu lama untuk bacaan selezat ini? Saya selalu berlambat-lambat untuk membaca buku Agustinus Wibowo. Dua buku sebelumnya dari pengarang yang sama, Selimut Debu dan Garis Batas, juga baru habis saya baca dalam tempo lebih dari tiga bulan. Saya enggan berpisah cepat-cepat dengan kisah yang dituliskannya. Saya suka baca ulang bagian-bagian tertentu, sebelum melanjutkan ke bagian lain. Saya menikmati setiap kalimat yang dituliskannya, setiap paragraf yang membentuk bangunan ceritanya.

Agustinus seorang penulis sangat bagus. Dia peka terhadap psikologi pembaca. Saya tak bertemu rasa bosan di sepanjang buku setebal lebih dari 500-an halaman ini. Agustinus suka menggunakan kalimat bersajak, perumpamaan yang kreatif, deskripsi yang colorful. Bukan hanya pengalamannya yang luar biasa, cara dia menceritakannya pun tak ada dua. Penggalan pengalaman dirangkainya jadi bagian-bagian terpisah yang sulit untuk dikategorikan namun tetap nyambung. Tidak begitu saja kita bisa membayangkan urutan waktu perjalanannya, karena kisah-kisah ini tidak ditulis secara kronologis murni.

Seperti seorang yang duduk berbincang dengan kita, dia bisa melompat ke potongan pengalaman yang tiba-tiba teringat, diletakkan dalam bingkai cerita lain, tapi ketika kita selesai membacanya, kita bisa menyusun ulang peristiwa itu dalam bingkai waktu yang tepat. Tapi tak penting lagi kronologis itu, nikmati saja seluruh kisah perjalanannya. Usai membacanya kita seperti sudah kenal betul dengan ulah dan adat masyarakat Pakistan, Afghanistan, Azerbaijan, Kazahsktan. Kita tahu pemandangan apa yang akan ditemui di sudut kota Kashmir, siapa yang duduk menunggu di sisi Afghanistan dari sungai Amu Darya.

Untuk buku Titik Nol, selang-seling kisah perjalanannya dengan cerita perjuangan ibundanya melawan kanker hingga titik nol kematian, membuat buku ini terasa lebih istimewa lagi. Ya, puja-puji saja yang bisa saya lontarkan untuk ketiga buku Agustinus Wibowo. Mohon maaf. Karena memang karyanya fenomenal.
Profile Image for Waode Heni.
46 reviews3 followers
October 10, 2015
I've been traveling to some places through this work of art of Agustin. I once read that "the good book is the one that tells the things you already know." And this book is one of the best ones I've ever read so far.

It talks about his personal trajectory. But if we think deeper and wider about "trajectory" term, we'd find out that each of us go through our very own trajectory... journey... path. They might seem different from each other but also actually, generally speaking, kinda similar to each other.

Kita hanya bisa menjalani jalan kita masing-masing. Tak perlu memaksa orang lain untuk sejalan dengan kita. Setiap perjalanan yang kita lalui adalah proses bercermin. Melihat hal-hal di luar diri kita untuk kemudian menemukan diri sendiri. Berkontemplasi. Perjalanan juga bukan hanya soal tujuan. Perjalanan adalah tujuan itu sendiri. Kita pasti akan sampai ke tujuan. Pasti. Tapi apa yang bisa kita temukan di perjalanan? Itulah makna setiap perjalanan. Semakin bermakna sebuah perjalanan, semakin banyak perubahan paradigma kita dapatkan, semakin dewasa, semakin tangguh. If a journey you take does not change you, at least the way you think, then it is not a journey at all. You cannot call it so.
Profile Image for Guguk.
1,339 reviews78 followers
June 26, 2017
Menyakitkan~

Untuk kisah perjalanannya, mempesona, seperti biasa. Situasi negara yang dibahas ada sedikit kemiripan pula dengan keadaan di sini akhir-akhir ini~
Untuk kisah-kisah itu, nggak ada yang terasa terhubung langsung denganku. Habisnya, aku ga pernah bepergian ke mana-mana (^///^;)>
Jadi hanya menikmati ceritanya, yang memang dikisahkan dengan penuh rasa dan warna.

Untuk kisah lainnya... Terhubung dan terasa menyakitkan...
Itu juga yang menjadi ketakutan terbesarku dulu. Dan ketika ketakutan itu benar terjadi, beban rasa takut itu pun tak ada lagi, sekaligus dengan lenyapnya keberanian untuk hidup.
Sakit dan marah, "Kenapa ini harus diceritakan? Ini urusanmu sendiri!" Aku yang pengecut cuma bisa menyalahkan orang.
Tapi aku bersyukur membacanya. Sakit dan pedih, ketakutan dan kehilangan, itu semua bukan punyaku sendiri, bukan punya satu orang saja, tapi semua orang pernah atau akan mengalaminya.

Aku...bukan, semua orang... Semoga semua orang mendapatkan kekuatan dan keberanian hidup.
Profile Image for linschq.
59 reviews
March 1, 2013
Seperti biasa, saya selalu menemukan banyak pelajaran dari buku-buku yang ditulis oleh Agustinus Wibowo. Dia berupaya mempopulerkan rasa percayanya bahwa perjalanan memang selalu memberi banyak pelajaran. Dalam kepercayaan yang telah ditumbuhkan semenjak saya kecil pun, selalu dibilang bahwa pengembaraan untuk menemukan diri sudah sangat dianjurkan.

Apa yang dia tulis, sisi kemanusiaan di negeri-negeri yang biasanya diangkat untuk dijadikan headline news di koran-koran internasional, kini coba diangkat dari sudut pandang sang pengelana. Ditulis dengan mendalam dan sungguh-sungguh. Penulis menumpahkan seluruh perasaannya secara jujur, sambil beberapa kali mengaitkan opini-opininya dengan pengetahuan yang sebelumnya telah ia pelajari terkait daerah yang menjadi destinasinya. Meskipun ditulis dalam bentuk yang sedikit berbeda, yakni novel, nuansa perjalanan yang beliau angkat di sini tetap kental, sesuai dengan khas-nya. Tulisannya rapi, mengalir, dan menyentuh.
Profile Image for Syandrez Prima Putra.
39 reviews5 followers
January 12, 2017
Buku ini adalah buku pertama yang saya baca di 2017. Berawal dari persinggahan saya di Gramedia sepulang dinas di malam tahun baru. Mengobati kerinduan saya akan jiwa petualang yang tiba-tiba saja bercokol, buku ini seolah-olah menjadi lecutan luar biasa untuk menempuh negeri-negeri yang jauh. Agustinus Wibowo mampu membawa ruh perjalanannya dari Cina, Tibet, Nepal, India, Pakistan dan Afghanistan menjadi hidup. Benar-benar bernapas dalam setiap kalimatnya. Ini bukan hanya sebuah kisah nyata sebuah perjalanan, tapi ini adalah tulisan yang berisi suara-suara sayup yang tidak pernah terdengar di dunia sana. Indah sekalii.. sukaaaa!

NB: Tampaknya saya harus segera menyelesaikan memori perjalanan yang sama meski harus tertatih-tatih.
Profile Image for Yunita1987.
257 reviews5 followers
March 16, 2013
'Perjalananku bukan perjalananmu, Perjalananku adalah perjalananmu�

Setelah membaca buku ini, banyak hal yang aku dapatkan dan pikirkan mengenai perjalanan. Perjalanan dalam buku ini bukan hanya sebuah perjalanan semata yang dilalui oleh sang penulis tetapi dirinya yang berani menceritakan perjalanan kehidupanya.

Pada saat memulai membaca buku ini, kita akan disuguhi sebuah komentar dari seorang partner yang dikenal penulis selama melakukan perjalanan. Dia menjelaskan nilai dari sebuah perjalanan tidak terletak pada jarak yang ditempuh tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bias terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan ditanah kehidupan.

Cerita diawali dari sang penulis yang akhirnya kembali ketanahairnya dan bertemu kembali terhadap realita kehidupanya, dia bertemu dengan keluarga yang dia sayangin terkhusus kepada ibunya yang sedang sakit. (Jujur waktu baca ini, aq nangis). Dan dia harus belajar untuk bisa beradaptasi kembali dengan kehidupannya yang sudah lama dia tinggalkan. Disini sang penulis sepertinya begitu marah kepada Sang Waktu. Tapi kemarahan dan penyelasannya memberikan pelajaran buat pembaca terkhusus kepada diriku bagaimana seharusnya kita harus belajar untuk bisa memanage waktu dengan baik.
‘Waktu, betapa makhluk tak terjamah itu punya kuasa menampilkan segala kontradiksi� (Hal-8)


Disaat ibunya yang sedang sakit ini, sang penulis merasa bahwa setiap detik begitu berharga. Dan disini dimulai ceritanya, dia ingin memberitahukan kepada sang ibu tersayang, bagaimana kisah yang sudah dia alami selama ini. Sang penulis yang membuat catatan selama pengembaraannya dengan sebutan Safarnama. Dan dia berharap dengan dia menceritakan kisahnya, ibunya tahu dan tidak perlu membayangkan misteri2 gelap yang terjadi pada anaknya itu.

Perjalanannya dimulai di China, Xinjiang. Disana dia bertemu banyak orang, dan dia sempat berasa seperti seorang artis�:D. (dan ada hal kocak disini, ternyata banyak yang suka denga gambar lelaki Papua berkoteka).

Setelah itu dia melakukan perjalanan menuju Tibet, yang dianggap sebagai Tanah Suci diAtap Dunia. Disaat perjalanannya diTibet ini, dirinya sempat mengeluh mengenai Garis Batas.
‘Siapa yang sebenarnya menggambar garis-garis batas negeri dimuka bumi, yang kemudia mengklaim ini punyaku itu punyamu?� (Hal- 35)


Selama dirinya berada diTibet, sang penulis banyak bercerita mengenai kisah Kailash yang dianggap sebagai poros dunia dan kisah pulau Jawa yang katanya mengambang disamudra luas kemudian diperintahkan seorang dewa untuk memaku pulau Jawa dengan secuplik Gunung Mahameru dari India.
Setelah itu, sang penulis kembali memberikan aku pejalaran mengenai hidup, yaitu kalachakra, Roda Waktu. Perjalanan hidup kita yang diiringi perjuangan untuk menghasilkan karya-karya besar dan berbagai pencapaian tetapi semuanya tetap akan kembali lagi pada kekosongan, kembali menjadi butir pasir yang hampa (Hal- 53)


Setelah itu perjalanan masih berlanjut, tapi apa daya karena transportasi yang sangat sulit, sang penulis masih harus menunggu transportasi yang sangat dan sangat jarang itu. Selama menunggu tersebut, sang penulis kembali mengajarkan sesuatu. Sang penulis yang memulai bertanya kembali kepada dirinya apakah masih ada limit kekuatan yang tersisa, apakah perjalanan mengejar mimpi ini tak bakal sia-sia belakang.

Disini sang penulis yang sempat beragumen dengan mamanya bagaiamana kehidupan seseorang yang melihat masa depan yang dimulai dari bermimpi. ‘Justru kita perlu bermimpi , karena mimpi yang menentukan perjalanan, Mimpi itu yang mengubah kehidupan manusia� (Hal 65)

Setelah itu penulis mencoba menceritakan bagaimana kisah hidupnya, yang ternyata seorang mahasiswa dari salah satu universitas terbaik diChina.
Dia menulis bagaimana leluhur orang cina yang mengatakan hanya dengan kerja keras nasib akan berubah.
Dan punya pribahasa ‘beribu tentara berlaksa kuda menyeberangi jembatan kayu�, melukiskan betapa kejam dan ketanya perjuangan untuk mengubah nasib.

Dan Pada saat liburan, dia mencoba memulai perjalanannya, target awalnya adalah ke Mongolia. Dan disinilah tujuan hidupnya berubah.
‘aku lebih memilih untuk mewujudkan mimpi, daripada tunduk pada realita dan kungkungan aturan-autran. Bukankah takdir pun bisa diubah? Bukankah mimpi harus diperjuangkan?� (Hal -85)


Sampai akhirnya dia harus mengatakan berita buruk kepada keluarganya bahwa tujuan hidupanya adalah berkeliling dunia.
‘Apa artinya hidup kita ini semuanya mengikuti pola yang sama :lahir-lalu-kerja-cari-uang-sampai-mati?� (Hal-86).


Tapi masih soal mimpi, sang mama sempat bercerita bahwa Mimpi hanyalah sebuah mimpi, kita harus kembali kesebuah realita. Dan harus belajar untuk menerima jika Mimpi indah itu tak terpenuhi. Dan penulis sendiripun mengartikan Perjalanan adalah proses ‘menumbukkan� fantasi dengan realita.

Setelah itu, perjalan dilanjutkan kembali ke gunung Everest yang dikatakan sebagai kuburan raksasa.
‘Mengapa manusia rela mati menyabung nyawa? Hanya untuk beberapa menit berada dititik tertinggi dunia? Pengalaman yang mungkin hanya sekali seumur hidup? Atau hidup malah berakhir sia-sia? Tetapi disini sang penulis mengatakan Perjalanan itu menyadarkan kepada kita bahwa masalah-masalah yang kita anggap berat selama ini, ternyata teramat sepele dihadapan alam. Lupakan pangkat, kekayaan, kekuasaan, nama besar, nafsu. Bahkan alampun pengalami perjalanan.


Dan perjalanan sang penulis pun semakin jauh dan panjang. Dan semakin banyak hal yang aq dapat dari perjalanannya itu. So intinya yang buat belum baca, cepat-cepat dibeli bukunya dan bacalah. Dan rasakan sendiri bagaimana dasyatnya buku ini membenturkan kepalamu dan meremukkan pikiranmu untuk menilai sebuah kehidupan dan belajar membaca Kitab Tanpa Aksara.

Thanks buat sang penulis yang sudah membuat buku ini.

Very recommended. Trust Me !!!
Profile Image for Elly Wani.
30 reviews2 followers
July 3, 2013
Dari sampulnya saja buku setebal 552 halaman ini sudah sangat menjanjikan ‘sesuatu�. Warna biru cerahnya menyiratkan kedamaian dan juga harapan. Titik Nol mengajak kita menyusuri perjalanan Agustinus Wibowo melihat dunia, perjalanan spiritualnya dan juga perjalanan hidup ibunya.

Kisah dibuka dengan prolog pulangnya si musafir ke kampung halaman setelah sepuluh tahun ia tinggalkan. Ia pulang bersujud di samping ranjang ibunya yang terbaring sakit. Kepada ibunya ia ceritakan kisah perjalanan yang telah ia tempuh sejak meninggalkan rumah. Kisah yang ia beri nama safarnama. Sang musafir telah menempuh perjalanan panjang dan jauh, merambah tempat-tempat terpencil dunia. Safarnamanya mengisahkan perjalanan ke Tibet, Nepal, India, pakistan dan Afghanistan. Perjalanannya bukan sekadar perjalanan biasa. Perjalanannya penuh makna. ia tidak sedang melancong apalagi berwisata. Ia menyebut dirinya petualang dan kenyataannya ia memang seorang petualang. Petualangan itu semula merupakan ‘pelarian�. Tetapi kehidupan di negeri yang asing membuatnya semakin menyelami makna hidup yang pada akhirnya perjalanan itu menjadi perjalanan spiritualnya.

Ia memulai kisah mendebarkan dengan kisah menyelinap ke Tibet. Perjalanan yang panjang dan mendebarkan. Bermain kucing-kucingan dengan petugas keamanan, hanyut di sungai berarus deras dan menyusup ke kuil. Ia mengalami kecopetan di Nepal dan di sana juga ia bertemu backpacker malaysia Lam Li yang kemudian menjadi guru perjalanannya. Di India ia sempat di rawat di rumah sakit karena menderita Hepatitis. Carut marut keadaan di negeri itu memupus semua fantasinya yang ala Bollywood. Sakit itu tidak membuatnya menghentikan langkah. Ia meneruskan perjalanan ke pakistan. Di sana ia ke suatu daerah terpencil yang terkurung gunung, yang tidak disinari matahari selama lebih dua bulan. Ia juga membantu korban gempa di Kashmir, menyaksikan kerusuhan di Lahore, juga berjalan menyusuri gurun Thar. Hingga akhirnya ia tiba di Afghanistan, menghentikan perjalanannya di negeri perang itu. Memutuskan tinggal dan bekerja di sana selama dua tahun, hingga akhirnya mendapat kabar ibunya mengalami kanker.

Buku ini unik karena memadukan kisah perjalanan sang musafir dan kisah hidup ibunya. Dua alur yang berbeda yang diramu dengan selaras dan apik. Ketika sedang membaca kisah petualangannya, di saat yang sama pembaca tidak akan sabar ingin tahu bagaimana kisah sang Mama selanjutnya. Kejutan-kejutan apa yang menanti di depan.
Kelebihan lain adalah pilihan kata yang indah. Terutama pada kisah sang Mama. Aku suka gaya penulisan di bagian kisah sang Mama. Kalimat-kalimat singkat, padat tetapi bermakna. Aku menyukai kisah petualangan sang Musafir, tetapi kisah sang Mama merupakan bonus yang sangat menyentuh dan menggugah.

Setelah menuntaskan membaca buku ini aku menghela nafas dan tercenung lama. Merenung. Usai membaca kisah perjalanan ini, siapapun untuk sesaat pasti juga akan merenungkan perjalanan hidupnya, safarnamanya. Dengan jujur mengakui pada diri sendiri tentang arti hidup yang telah dan sedang dijalani. Perenungan yang memulangkan kita pada titik nol tempat perjalanan bermula dan berakhir. \

“Kita perlu mimpi. Mimpi yang menentukan perjalanan. Tanpa mimpi, tanpa cita-cita, orang tidak akan kemana mana. Justru karena masih ada mimpi, kita jadi punya alasan untuk terus hidup, terus maju, terus berjalan, terus mengejar. Tanpa mimpi sama sekali, apa arti hidup ini?�

“perbedaan konsep kebahagiaan adalah perbedaan sudut pandang, yang menyebabkan perbedaan memperlakukan hidup dan menjalani kehidupan�

‘ketika mimpi indah tidak terpenuhi, manusia harus belajar menerima.�
“Perjalanan hidup manusia disarikandalam perjalanan mendaki gunung. Keberhasilan bukanlah Cuma tentang mencapai puncak.tetapi juga bagaimana menikmati pemandangan, bukit dan lembah, gumpalan awan simfoni burung dan rumput, hembusan nafas, syukur akan hidup, dan yang terpenting turun kembali dengan selamat.�

“Perjalanan turun adalah proses melucuti ego. Jauh lebih mudah memupuk kebahagiaan sepanjang hidup daripada melepaskan semua itu. sedangkan pendakian adalah berjuang untuk lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.�

“Perjalanan bukan hanya untuk berpindah, tetapi juga untuk berhenti.�
Profile Image for Vidi.
97 reviews
April 8, 2013
....
Aku takut menetap, aku takut kepastian yang abadi. Di saat yang sama, aku pun takut akan ketidakpastian masa depan. Ketakutan-ketakutan berkontradiksi saling bertabrakan, membuatku semakin gamang akan tujuan, bertanya-tanya apa betul ini jalan.

Semakin aku berjalan, perjalanan justru menghadapkan aku pada segala ketakutanku. Hidup ini memang tak pasti namun pasti. Segala gejolak pengembaraan dan perayaan itu tentu akan berakhir, beserta segenap keterikatan maupun kehampaannya. Sejauh apa pun berkelana, pasti akan ada waktunya untuk berpulang, kembali ke kekosongan sempurna, keabadian yang sama jua.
....
(hal. 161)


Iri. Mungkin itu adalah perasaan yang sempat terlintas. Apakah saya iri terhadap perjalanan-perjalanan Agustinus? Tidak. Saya iri terhadap keberaniannya untuk keluar dari zona amannya. Keberaniannya untuk menolak kehidupan nyaman yang ditawarkan oleh pekerjaan yang mapan, untuk mendobrak pola baku lahir-lalu-cari-kerja-cari-uang-sampai-mati.

Perjalanan itu sendiri diartikan oleh Penulis lebih dari sekedar perpindahan lokasi fisik. Perjalanan memiliki arti lebih dalam dari itu. Bahkan Penulis menganalogikan kehidupan manusia sebagai perjalanan. Tujuan akhir bukanlah inti dari perjalanan, karena bukankah titik nol dan titik akhir adalah titik yang sama. Every party shall over. Akhir dari setiap perjalanan adalah pulang. Seperti juga hidup, dari tiada kembali ke tiada. Dari perjalanan inilah kita belajar, dari alam dan dari manusia-manusia yang bersinggungan dalam perjalanan. Seperti kita belajar dari perjalanan hidup kita.

Saya tidak akan mencoba untuk mendeskripsikan isi buku ini karena itu hanya akan menurunkan nilai buku ini. Rasanya hampir mustahil mendeskripsikan buku ini tanpa menurunkan nilainya karena buku ini sangatlah kaya dengan pengalaman tangan pertama. Tidaklah berlebihan jika disebut bahwa setiap fragmen dari buku ini cukup untuk dijadikan sebuah cerita sendiri. Inilah salah satu kekuatan Penulis. Agustinus memiliki kepekaan untuk memotret drama-drama kehidupan yang dijumpainya dalam perjalanannya. Bukankah setiap kehidupan adalah sebuah drama.

Buku ini juga agak berbeda dari dua buku Agutinus sebelumnya. Buku ini begitu sarat dengan emosi, suatu keterbukaan yang tak pernah saya sangka sanggup ditampilkan oleh Agustinus. Kejujuran dalam setiap paragraf buku ini kian terasa saat Penulis bercerita tentang ibunya yang mendekati titik akhir perjalanannya.

Saya teringat kepada Santiago, tokoh cerita The Alchemist karya Paulo Coelho. Santiago melakukan perjalanan panjang penuh petualangan dan mara bahaya demi sebuah mimpi hanya untuk menemukan bahwa titik akhir perjalanannya adalah titik nol, bahwa yang dia cari selama ini berada pada titik nol.

Baru-baru ini saya membaca sebuah tweet, yang berbunyi: 'Seorang manusia menempuh perjalanan keliling dunia untuk mencari apa yang ia butuhkan, dan kembali ke rumah menemukan yang ia butuhkan itu.'. Saya tidak tahu apa maksud dari si penulis tweet itu. Tetapi saya langsung me-reply: 'Ia tak akan pernah menemukan apa yang ia butuhkan bila ia tidak melakukan perjalanan itu.'.

Mungkin pembelajaran tidak mensyaratkan kita untuk melakukan perjalanan akbar melintasi Himalaya, Tibet, India, Pakistan, Asia Tengah dan Afghanistan. Pembelajaran tetap berlangsung dari manusia-manusia di sekitar kita dan terutama dari perjalanan akbar hidup kita masing-masing.
Profile Image for Isnaini Nuri.
94 reviews23 followers
November 30, 2013
Titik Nol adalah start dan finish. Seperti alur cerita dalam ini. Di tempat ia mengakhiri petualangannya, di tempat itulah ia memulai kisah perjalanannya. Dua cerita, cerita awal perjalanan dan cerita setelah perjalanan, ditulis berbarengan dengan tema yang berkaitan. Seakan-akan berusaha menyambungkan antara perjalanan hidup yang telah ia tempuh dengan kehidupan nyata yang ia hadapi setelahnya. Bagaimana mamanya berjuang keras dalam menaklukkan penyakitnya sebagaimana ia mencoba menaklukkan gunung-gunung yang terbentang gagah di depan perjalanannya. Bagaimana ia memandang pertikaian antar agama dengan kondisi mamanya yang menjadi obyek perebutan jamaah di masa kritisnya.

Cerita perjalanan yang tidak hanya bercerita tentang eksotisme tempat-tempat perjalanan yang dikunjungi tapi juga makna dalam setiap kisah perjalanan yang dilalui.
"Perjalanan pasti mengubah manusia dan kamupun akan berubah bersama perjalanan"

Yang agak mengkhawatirkan adalah cerita tentang kehidupan Islam di Lahore, salah satu kota di Pakistan. Islam disana lebih ke arah sufi dan syiah. Ya, memang itulah kenyataan yang ada disana dan itulah yang diceritakan tapi hal-hal yang dilakukan kaum Muslim di Lahore tidak ada ajarannya dalam syariat Islam yang sesungguhnya. Terbayang para pembaca buku ini yang belum terlalu mengerti tentang Islam berpersepsi bahwa itulah cerminan Islam. Pergulatan pemikiran penulis tentang agama terasa menuju ke arah pluralisme, menganggap semua agama adalah sama baik.
Well,,bagaimanapun juga saya menyukai buku ini. Bagaimana cerita-cerita petualangan dan makna filosofi di dalamnya selalu membuat seseorang yang mau mencari hikmahnya menjadi lebih bijak menyikapi kehidupan. Can't wait to read the other Agustinus's books :)

"Perjalanan ini memang berat tapi yang akan kau lakukan sebanding dengan semua perjuanganmu."

"Itulah kalachakra, roda waktu. Seperti halnya perjalanan hidup kita yang juga diiringi perjuangan untuk menghasilkan karya-karya besar dan berbagai pencapaian tetapi semua tetap akan kembali lagi pada kekosongan."

"Ditengah kehidupan mahasiswa yang monoton ini, aku masih mempertahankan mimpi untuk melihat dunia.."

"..Dongakkan kepalamu. Lihatlah matahari diatas sana. Berjalanlah mengikuti sang surya, tepat di bawah sang surya, berjalanlah melintasi semua penjuru bumi. Kau kan lewat negeri-negeri, gurun luas, padang rumput, laut lepas. Dakilah gunung. Seberangilah sungai. Arungilah samudera. Alamilah petualangan. Hanyak 24 jam kau butuhkan, bersama sang surya kau keliling dunia.."

"Tak usah mimpi muluk-muluk, jadilah orang yang biasa-biasa, manjalani hidup biasa-biasa tapi memperlihatkan karya luar biasa."

"..tapi aku lebih memilih mewujudkan mimpi-mimpi daripada tunduk pada realita dan kungkungan aturan-aturan. Bukankah mimpi harus diperjuangkan?"

"Ada dunia diluar sana. Kalau aku tidak pernah berjalan keluar, aku bahkan takkan pernah melihat dunia yang luar itu."

"Buanglah buku-buku panduan, belajarlah langsung dari pengalaman dan kehidupan, berhentilah bergantung pada buku panduan! Baca buku yang membuatmu berpikir, bukan terima jadi. Jangan malas mengunyah dan selalu menunggu dikunyahkan dahulu! Ciptakan sendiri petualangannu!"

"Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar. Juga belajar melihat ke dalam diri.."
Profile Image for Yuli Prihatama.
2 reviews1 follower
May 28, 2013
Harga : Rp. 98.000,-
Kategori : Kisah Nyata, Nonfiksi, Traveling
Ukuran: 13.5 x 20 cm
Tebal: 568 halaman
Terbit: Februari 2013
Cover: Softcover
ISBN: 978-979-22-9271-8



Perjalananku bukan perjalananmu

Perjalananku adalah perjalananmu

Jauh. Mengapa setiap orang terobsesi oleh kata itu? Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol. Para pengelana lautan mengarungi samudra luas. Para pendaki menyabung nyawa menaklukkan puncak.

Juga terpukau pesona kata “jauh�, si musafir menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Dimulai dari sebuah mimpi, ini adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.

Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.

Itulah sinopsis yang tertulis di pustaka online Gramedia Pustaka Utama. Buku karya Agustinus Wibowo ini adalah salah satu buku yang renyah dan enak di baca. Sebuah ulasan perjalanan yang fair dalam mengungkap sisi kehidupan masyarakat yang dia kunjungi selama backpakeran ke negeri-negeri di Himalaya dan Asia Tengah.

Keyakinan agamanya yang universal mampu membuatnya bisa bersahabat dengan banyak orang di saat-saat perjalanannya itu. Meski dirinya seorang Buddha Maitreya, tapi dia mampu memandang dengan adil realita masyarakat yang berkembang di sana baik masyarakat Buddha, Hindu dan Muslim dari setiap daerah yang dia kunjungi.

Terlepas dari keuniversalan keyakinannya yang pluralis, dirinya mampu membedah sisi-sisi unik dari kehidupan masyarakat yang selama ini hanya diidentikkan dengan perang. Sebuah kabar tentang kemiskinan yang ternyata lebih parah dari pada tanah air kita. Tapi juga kabar tentang keramahan masyarakat yang dia dapati dalam sebuah iklim masyarakat yang cenderung suka perang. Tak banyak yang tahu jika tak pernah mengalami hal itu secara langsung, atau setidaknya lewat buku ini.

Khususnya bagiku yang muslim, aku mendapat banyak informasi berharga dari buku ketiganya ini. Khususnya tentang bagaimana sendi-sendi kehidupan kaum muslimin di negeri-negeri yang dulu pernah bernaung di bawah daulah khilafah Islam.

Selain itu, buku ini bercerita banyak hal tentang hikmah sebuah perjalanan dan tentang bagaimana berbakti kepada orang tua. Aku banyak belajar tentang pepatah Tionghoa dari sang penulis yang merupakan warga keturunan Tionghoa. Nama Agustinus Wibowo adalah nama yang mungkin diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru ketika itu, karena dia lebih akrab dipanggil Ming dalam keluarganya.

Semoga buku ini dapat meningkatkan wawasan dan kearifan para pembacanya. Sehingga persepsi kita lebih banyak bagaimana membangun persahabatan dari pada terus bermusuhan. Dialog dan bertukar pikiran adalah jalan para cendikia untuk menyatukan pemikiran dan meredam gejolak perbedaan agar semuanya itu menjadi produktif dan memberikan kebaikan bersama.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Namida Puti.
156 reviews10 followers
March 12, 2013
" Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali."

Rangkaian kalimat Agustin Wibowo begitu puitis dan dramatis. Membuat saya tak bisa berhenti membaca buku ini, lembar demi lembar. Titik Nol bukan buku perjalanan biasa yang menceritakan secara ringkas bagaimana negara ini dan bagaimana negara itu. Bagaimaa kondisi di sini dan bagaimana kondisi di situ secara dangkal..melainkan lebih...humanis.

Agustinus bukan penjelajah yang superior dengan segala kemampuan penjelajah yang katakanlah tahan banting, bodi kuat, dan cerdik. Dia lebih seperti kita, orang awam, namun memutuskan untuk nekat berkeliling dunia. Beberapa kali ia jatuh sakit, kecopetan, nyaris jadi korban pelecehan seksual, dan menangisi nasib. Yap, si pengembara ini melakukan apa yang kita orang awam akan lakukan kalau kita "nyasar" di negeri antah berantah.

Jalur dan negeri yang dipilih, bisa dibilang ekstrim. Dari negeri-negeri jalur sutra yang eksotis sampai ke negeri peperangan, Afganistan. Kata orang , menjadi penjelajah membuat manusia bisa menemukan dirinya sendiri, menanggalkan segala tetek, bengek keduniawian dan menemukan apa yang hakiki dan itu diperoleh dalam perjalanan. Saya rasa, dmikian juga yang dialami dan dirasakan Agustinus dalam setiap langkahnya menapaki negeri-negeri asing. Mata menjadi terbuka dan bisa melihat lebih jauh ke inti, ketimbang hanya melihat cangkangnya saja. Ia bisa menemukan persahabatan di negeri yang tercabik. Ia juga mengetahui bagaimana agama menjadi komoditi yang mendatangkan uang di negeri yang lain.

Titik Nol pun berpararel dengan kisah ibunda yang tengah didera kanker ganas. Seorang anak yang trpisah jauh ribuan kilometer merasa jadi tak berharga. Membuat saya berefleksi, untuk apa semua perjalanan ia lakukan? Semua seolah menjadi sia-sia belaka. Tapi tentu saja tidak demikian, karena tidak ada perjalanan yang sia-sia. Cerita demi cerita safarnama menjadi kisah yang menemani ibunda di ranjang rumah sakit..seolah memberikan secercah cahaya matahari pagi.

Di banding buku yang sebelumnya, saya lebih suka buku yang ini. Lebih meninggalkan bekas setelah membacanya.

Profile Image for Muhammad Dhito Prihardhanto.
22 reviews5 followers
August 24, 2014
Titik Nol adalah buku pertama Agustinus Wibowo yang pernah saya baca. Sangat menyenangkan membaca Titik Nol ini. Titik Nol ini tidak hanya bercerita mengenai kisah perjalanan saja. Namun, Agustinus dalam menceritakan kisah perjalanannya itu sering menyisipkan pemikiran-pemikiran hasil kontemplasinya dan juga orang-orang yang ditemui akan makna perjalanan yang dia lakukan atau fenomena-fenomena yang dilihat dan dialaminya atau tentang makna kehidupan itu sendiri.

Ada beberapa gagasan pemikiran yang saya sepakat, dan ada juga yang saya tidak sepakat. Namun hal tersebut tak mengurangi rasa kekaguman saya akan gaya bercerita dan menyampaikan gagasan yang dia lakukan melalui buku Titik Nol ini.

Agustinus juga dengan sangat apik menyampaikan narasi dan deskripsi perjalanan yang dia lakukan. Membaca buku ini, saya seolah sedang ikut mengalami petualangannya yang dimulai dari Beijing dengan menumpang kereta yang penuh sesak ke Xinjiang, menyelundup ke Tibet, trekking di pegununguan Himalaya di Nepal, terserang penyakit hepatitis di India sehingga harus diopname beberapa hari, menjadi relawan pemulihan pasca gempa di Kashmir, melihat penerapan agama Islam di Pakistan, dan menjadi jurnalis di Afghanistan sebuah negara di mana bom sudah menjadi pemandangan sehari-hari.

Saya juga kagum dengan gaya bercerita Agustinus yang secara brilian merangkai dua plot cerita, satu tentang kisah perjalanannya dan satu lagi tentang cerita ibundanya yang tengah terbaring sakit. Walaupun dua kejadian tersebut terjadi dalam plot waktu yang terpisah, namun selalu ada benang merah yang menghubungkan kedua plot yang sedang diceritakan.

Perjalanan Agustinus dari Beijing ini sejatinya ingin diakhirinya di Afrika Selatan. Namun rencana tersebut terpaksa diakhiri ketika ia harus terbang pulang ke Indonesia demi merawat ibundanya yang terbaring sakit.

Di menjelang bagian akhir dari buku ini ada satu paragraf yang saya suka yang ingin saya kutip di sini:
"Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari titik nol kita berangkat, kepada titik nol kita kembali."

Setelah membaca Titik Nol ini, saya jadi tertarik untuk mengikuti tulisan-tulisan Agustinus di bukunya yang lain. :)
Profile Image for Nur'aini Cahayamata.
12 reviews1 follower
September 21, 2017
Sebagai penggemar Travel Book, saya menemukan cita rasa berbeda dari bagaimana Agustinus Wibowo mengisahkan perjalanannya di dalam buku ‘Titik Nol� ini. Apa yang selama ini dielu-elukan dalam cerita bernama ‘traveling� justru dikemas dari sisi yang tidak biasanya. Bukan lagi tentang pesona suatu lokasi wisata, kemegahan dan kecanggihan fasilitas bangsa, atau keseruan menelusuri tempat-tempat baru. Namun sebuah perjalanan berliku, menantang jiwa petualangan, dengan segala keterbatasan dan hambatan, yang mengulik keeksotisan kehidupan penduduk di tempat persinggahan, menyaksikan langsung ritual setempat, lengkap dengan tragedi dan gaya hidupnya.

Semuanya bermula dari kepulangan Agustinus ke ‘rumah�, setelah melanglang buana nyaris 10 tahun lamanya, karena mendengar kabar Mamanya yang kritis dengan kanker ovarium yang sudah bermetastase ke organ tubuh yang lain.

Kemudian hari-hari berkisahpun dimulai. Agustinus yang menjalankan perannya sebagai anak, membaktikan diri merawat hari demi hari Mamanya yang hanya mampu berbaring di bed pasien, mengisahkan lika-liku perjalanan, sebuah ‘safarnama�, yang alurnya di dalam buku ini, juga mengikuti kisah-kisah lama yang terjadi di dalam kehidupan Mamanya. Perempuan keturunan Tionghoa yang hanya tahu tentang bekerja dan menjadi ibu rumah tangga.

Jika dilihat, justru negara-negara dan tempat yang dikunjungi, dan bagaimana Agustinus melakukan perjalannnya, sangat tidak disarankan dan bukan kebiasaan para turis yang hanya ingin menikmati kemewahan, jeprat-jepret keindahan. Ada kisah-kisah unik yang dibawa penulis dari setiap tempat yang disinggahinya. Pembuktian-pembuktian terhadap rumor suatu bangsa. Seperti India yang tidak seromantis di film-film nya, tetapi justru penuh konflik dan drama, tentang kaum Syi’ah yang mencambuki diri sendiri ketika perayaan Muharram, tentang Afghanistan yang tidak melulu tentang bom dan perang.

Bahasa yang digunakan Agustinus dalam mendeskripsikan kejadian demi kejadian sangat runut dan enak untuk dibaca. Alurnya juga jelas, meski diselang-selingi dengan cerita tentang keluarga, namun tetap mudah untuk dipahami.
Profile Image for lita.
440 reviews64 followers
March 25, 2013
Jadi, inilah klimaks dari catatan perjalanan yang disusun Agustinus Wibowo. Berbeda dengan dua buku sebelumnya, Selimut Debu dan Garis Batas, yang menyuguhkan gegap gempita sebuah perjalanan, Titik Nol lebih banyak berisi racauan Agustinus sebagai seorang pejalan yang telah lama pergi dari rumah.

Racauan Agustinus ini adalah khas seorang pejalan yang mengalami titik nol. Betapa perjalanan dirinya untuk melebur ke dalam diri masyarakat yang baru dia temui, untuk kemudian dia lepas lagi di tempat yang baru.

Tapi justru setelah mengalami titik nol, seseorang bisa merasa terlahir kembali. Segala beban dari masa lalu, yang terbawa dari masa lalu, bisa dilepas. Langkah menuju hari baru pun terasa lebih ringan. Seperti halnya deret bilangan yang membutuhkan angka nol: satuan membutuhkan angka nol untuk menjadi puluhan, puluhan membutuhkan angka nol baru untuk menjadi ratusan, dan seterusnya.

Mungkin itu sebabnya agama menyarankan umatnya untuk melakukan ziarah. Karena selama ziarah, seseorang dipaksa untuk melepas segala atribut yang melekat pada dirinya, atribut yang mengusung ego dan kenyamanan yang melenakan. Semuanya hilang, larut ke titik nol, membuat diri tak lebih besar dari setitik debu yang ada di gurun kehidupan. Makna yang sayangnya sering terlupakan oleh mereka yang pulang dari ziarah. Ziarah menjadi satu kebanggaan, satu atribut baru yang dianggap menambah derajat diri mereka dibanding manusia lain. Padahal, “ziarah bukan pembuktian diri, bukanlah penaklukan tantangan, bukan penyingkapan misteri. Tak ada kebanggaan pasca ziarah� (hal 52).

Terlepas dari segala pujian untuk buku ini, ada dua ganjalan kecil yang saya temukan: “Mereka pun belum pernah melihat sisi lain dari danau yang sama, karena itu tanah sama sekali terlarang� (hal. 34). Itu tanah atau tanah itu? Serta “Sang petualang mengisahkan, semenjak meninggalkan padepokan sang pertapa, betapa sedih dianya mendengar tragedi pembantaian di zaman pemerintahan Indira Gandhi, � (hal 261). Betapa sedih dianya atau sedihnya dia? � (lits)
Profile Image for Imas.
515 reviews1 follower
July 17, 2020
Setelah marathon dengan dua buku kisah perjalanan Ming, berlanjut dengan buku ke 3. Buku ini ternyata sama juga dengan kondisi lainnya jika kita terus menerus melakukan hal yang sama maka timbul jenuh. Disaat ini aku harus stop, beralih ke buku dan kisah yang lain. Setelah beberapa waktu ditinggalkan, mencoba kembali membaca buku ini ternyata menimbulkan kegairahan lagi. Kisah perjalanan yang penuh perenungan tentang kehidupan, Ketuhanan, Kebudayaan dan keragaman manusia

Kisah perjalanan yang ditulis dengan gaya berbeda. Kadang cukup menyesakkan dada untuk seorang muslim mengetahui bagaimana agama hanya sebagai frame, pembungkus dan penghias kelakuan.

Kisah ibunda Agustinus membuatku terkenang akan ibunda ku sendiri, omakku sayang. Omak yang tak pernah menyuruh pulang selalu berkata semua baik-baik saja, namun orang lain yang berjumpa beliau senantiasa menyampaikan betapa omak sangat merindu, omak selalu berkabut airmata jika ditanya tentang kabar anak-anaknya. Pulanglah kata mereka. Tapi tentu saja aku tak percaya. Omak tak pernah menyuruhku pulang, kita selalu bercerita dengan gembira di telepon.

Hingga suatu malam datanglah berita dari kakak yg meminta pulang karena omak sudah terbaring parah di Rumah Sakit. Perjalanan paling panjang yang pernah ku alami sepanjang hidup. Tetesan airmata sejak malam hingga pagi dan sepanjang penerbangan seolah tak bisa mengeringkan sumber air di mata ku. Pandangan omak saat membuka mata dan melihat aku sudah duduk disisi tempat tidur seakan tak percaya dan penuh rindu. Kalimat pertama yang dia ucapkan malah...haa kamu sudah pulang..makanya kamu harus simpan uang jangan terlalu sering pulang kalau tidak penting supaya bisa pulang saat aku sakit begini. Oh omakku...aku bersyukur masih bisa pulang dan kesehatanmu kembali membaik.

Perjalananku memang bukan perjalananmu.. perjalananku memang tidak sehebat dan sengeri kisah perjalanan di buku ini. Tapi jarak yang memisahkan keluarga, Ibu dan anak kok selalu mirip ya..

God is Great..
Displaying 1 - 30 of 343 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.