miaaa's Reviews > Blindness
Blindness
by
by

This is my second encounters with Saramago. This time he took me to a city, where one by one its citizen suddenly went blind. Unlike the common sense that when we're blind, we're in darkness as the light is taken from our lives, the blindness that struck this city is more like a luminous light that just swallowed up everything, colours, things, beings.
As I expected, the Government did what they think is the best to do. Set up a quarantine, sent the blind citizens, along with those who had contacts with them before they went blind. However as the white blindness swept up the country, more and more internees sent to the quarantine and they have to cope everything by themselves. No clean running water, no hands guiding them, they have to live with stench odour from urines, excrements, sweats, and dirty clothes.
The ophthalmologist's wife, however, did not go blind, although by witnessing all the misery and nightmares occurred in the quarantine she had wished that she went blind as well. She felt obligied to lead the six people out from the ruined by fire quarantine, looking up for food, and find their homes. She conducted a crime, but in a situation when a group of thugs insisted that the food must be paid by women, I'd do the same. Blindness was not an excuse to do mischief, especially an immoral one.
This book is really disturbing, mentally and visually, especially when it really occures, but it's a great book. I'll look forward to read Saramago's other masterpieces.
***
Kisah yang sangat mengganggu. Satu per satu warga sebuah kota tiba-tiba mengalami kebutaan, dan berbeda dengan anggapan umum bahwa buta berarti berada di dalam kegelapan, ketika cahaya menghilang dari kehidupan kita, maka yang dialami oleh warga kota ini adalah ketika cahaya itu tidak hanya menutupi, tapi seakan-akan menelan segala warna, benda dan eksistensi sehingga semuanya menghilang dari dunia ini. Mungkin kebutaan putih ini sama seperti ketika kita mencoba melihat langsung ke arah matahari.
Pemerintah kemudian melakukan apa yang menurut mereka harus dilakukan dalam situasi seperti ini, mengirim warga yang mendadak buta ke sebuah rumah sakit jiwa yang berubah fungsi menjadi tempat karantina, dan dengan maksud mencegah penyebaran penyakit tersebut mereka yang masih bisa melihat namun pernah melakukan kontak dengan warga yang telah buta pun dibawa ke karantina tersebut, walau ditempatkan di sayap yang berbeda. Namun akhirnya ketika semakin banyak 'pasien' baru dimasukkan ke karantina, pemisahan ini tidak lagi berlaku karena Pemerintah menganggap toh mereka yang masih bisa melihat akan segera menjadi buta tidak lama lagi.
Entah bagaimana istri seorang dokter, lebih tepatnya seorang ophthalmologist, tidak mengalami kebutaan seperti yang lainnya namun ikut masuk ke karantina demi suaminya. Kehidupan di dalam karantina tersebut begitu mengerikan ketiadaan tangan-tangan yang membantu para 'pasien' ini membuat mereka harus berupaya sendiri untuk mencari toilet
dan melakukan segala hal lainnya.
Kekacauan tidak berhenti di situ, sekelompok 'pasien' bersenjata kemudian dengan paksa merebut jatah makanan, yang walaupun dijanjikan akan diberikan tiga kali dalam sehari diberikan dalam kurun waktu yang tidak menentu, dan hanya akan membagikan makanan tersebut jika para 'pasien' lain membayar dengan harta benda yang mereka bawa. Setelah uang, barang-barang berharga milik para 'pasien' telah habis, kelompok 'pasien' bandit tadi menuntut bayaran dalam bentuk lain, perempuan.
Dan kehidupan di karantina itu semakin tidak terbayangkan, kebutaan ternyata tidak menjadikan beberapa orang menjadi baik malah semakin terdegradasi. Mereka hidup tanpa air bersih, tanpa pakaian dan seprai yang layak, makanan yang ditukar dengan tubuh perempuan-perempuan, bahkan di titik seseorang harus dibunuh agar aksi pemerkosaan tersebut berhenti.
Secara emosional buku ini luar biasa, istri sang opthalmologist yang tidak mengalami kebutaan harus menyaksikan berbagai hal mengerikan, hingga sampai di titik dia berharap seandainya dia juga buta, dan juga menjadi pemandu enam orang lain yang bergantung padanya untuk makanan, pakaian dan mencari jalan pulang ke rumahnya ketika tempat karantina mereka terbakar habis. Sungguh buku ini menyajikan kemungkinan yang sangat mengerikan dan juga menganggu, seandainya benar-benar terjadi, tapi juga buku yang luar biasa.
As I expected, the Government did what they think is the best to do. Set up a quarantine, sent the blind citizens, along with those who had contacts with them before they went blind. However as the white blindness swept up the country, more and more internees sent to the quarantine and they have to cope everything by themselves. No clean running water, no hands guiding them, they have to live with stench odour from urines, excrements, sweats, and dirty clothes.
The ophthalmologist's wife, however, did not go blind, although by witnessing all the misery and nightmares occurred in the quarantine she had wished that she went blind as well. She felt obligied to lead the six people out from the ruined by fire quarantine, looking up for food, and find their homes. She conducted a crime, but in a situation when a group of thugs insisted that the food must be paid by women, I'd do the same. Blindness was not an excuse to do mischief, especially an immoral one.
This book is really disturbing, mentally and visually, especially when it really occures, but it's a great book. I'll look forward to read Saramago's other masterpieces.
***
Kisah yang sangat mengganggu. Satu per satu warga sebuah kota tiba-tiba mengalami kebutaan, dan berbeda dengan anggapan umum bahwa buta berarti berada di dalam kegelapan, ketika cahaya menghilang dari kehidupan kita, maka yang dialami oleh warga kota ini adalah ketika cahaya itu tidak hanya menutupi, tapi seakan-akan menelan segala warna, benda dan eksistensi sehingga semuanya menghilang dari dunia ini. Mungkin kebutaan putih ini sama seperti ketika kita mencoba melihat langsung ke arah matahari.
Pemerintah kemudian melakukan apa yang menurut mereka harus dilakukan dalam situasi seperti ini, mengirim warga yang mendadak buta ke sebuah rumah sakit jiwa yang berubah fungsi menjadi tempat karantina, dan dengan maksud mencegah penyebaran penyakit tersebut mereka yang masih bisa melihat namun pernah melakukan kontak dengan warga yang telah buta pun dibawa ke karantina tersebut, walau ditempatkan di sayap yang berbeda. Namun akhirnya ketika semakin banyak 'pasien' baru dimasukkan ke karantina, pemisahan ini tidak lagi berlaku karena Pemerintah menganggap toh mereka yang masih bisa melihat akan segera menjadi buta tidak lama lagi.
Entah bagaimana istri seorang dokter, lebih tepatnya seorang ophthalmologist, tidak mengalami kebutaan seperti yang lainnya namun ikut masuk ke karantina demi suaminya. Kehidupan di dalam karantina tersebut begitu mengerikan ketiadaan tangan-tangan yang membantu para 'pasien' ini membuat mereka harus berupaya sendiri untuk mencari toilet
dan melakukan segala hal lainnya.
Kekacauan tidak berhenti di situ, sekelompok 'pasien' bersenjata kemudian dengan paksa merebut jatah makanan, yang walaupun dijanjikan akan diberikan tiga kali dalam sehari diberikan dalam kurun waktu yang tidak menentu, dan hanya akan membagikan makanan tersebut jika para 'pasien' lain membayar dengan harta benda yang mereka bawa. Setelah uang, barang-barang berharga milik para 'pasien' telah habis, kelompok 'pasien' bandit tadi menuntut bayaran dalam bentuk lain, perempuan.
Dan kehidupan di karantina itu semakin tidak terbayangkan, kebutaan ternyata tidak menjadikan beberapa orang menjadi baik malah semakin terdegradasi. Mereka hidup tanpa air bersih, tanpa pakaian dan seprai yang layak, makanan yang ditukar dengan tubuh perempuan-perempuan, bahkan di titik seseorang harus dibunuh agar aksi pemerkosaan tersebut berhenti.
Secara emosional buku ini luar biasa, istri sang opthalmologist yang tidak mengalami kebutaan harus menyaksikan berbagai hal mengerikan, hingga sampai di titik dia berharap seandainya dia juga buta, dan juga menjadi pemandu enam orang lain yang bergantung padanya untuk makanan, pakaian dan mencari jalan pulang ke rumahnya ketika tempat karantina mereka terbakar habis. Sungguh buku ini menyajikan kemungkinan yang sangat mengerikan dan juga menganggu, seandainya benar-benar terjadi, tapi juga buku yang luar biasa.
Sign into Å·±¦ÓéÀÖ to see if any of your friends have read
Blindness.
Sign In »
Quotes miaaa Liked
Reading Progress
November 14, 2008
– Shelved
January 7, 2009
–
23.62%
"blind internees were locked up in a mental hospital ward, without medicines and appropriate foods"
page
73
January 7, 2009
–
23.62%
"blind internees were locked up in a mental hospital ward, without medicines and adequate foods"
page
73
Started Reading
January 13, 2009
– Shelved as:
favourites
January 13, 2009
–
Finished Reading
December 9, 2011
– Shelved as:
ophelia-s-library
Comments Showing 1-22 of 22 (22 new)
date
newest »

message 1:
by
Dini
(new)
-
rated it 4 stars
Dec 29, 2008 10:51PM

reply
|
flag


Tya: Ceritanya ttg orang2 yg ketularan wabah yg bikin mereka jadi buta. Panik kan kalo satu kota jadi buta semua...

@dini, jeeeeeeeeeng akhirnya kelar yippiiiiiiiii katanya ari mo minjem ... btw thanks banget yah udah boleh minjem :D

*nyetrum si nenek2 kisyut ala Peter Petrelli, terus ngilang*




yes, the movie's quite disappointing. dont know why it received awards

@mia
Do you think you know what I'm thinking?
Are you a mind reader?
Can you read my mind? :-p
*still running scared, still dodging the flying bottles*

@erie, yeah yeah yeah I can read your mind sista I really do lol so I'll be expecting some package soon eh ;)) *jumped ahead erie like the hayden christensen and slide tacked him* gotcha!!!!
yeah, but saramago himself likes the movie soo much, i think. it is said that he cried when watching the premiere

you're wrong miaa. he got a lot of money from the movie contract

Money, money, money
Must be funny
In the rich man's world
Money, money, money
Always sunny
In the rich man's world
Aha-ahaaa
All the things I could do
If I had a little money
It's a rich man's world