Kita bisa saja rajin ke masjid, tak pernah absen ke gereja, selalu ke pura dan wihara, tetapi siapa yang bisa mengukur kekhidmatan kita terhadap TuhanKita bisa saja rajin ke masjid, tak pernah absen ke gereja, selalu ke pura dan wihara, tetapi siapa yang bisa mengukur kekhidmatan kita terhadap Tuhan, selain Tuhan sendiri? - hal 144
***
Novel ini adalah mahar pernikahanku dengan sang penulis :)...more
Jadi, inilah klimaks dari catatan perjalanan yang disusun Agustinus Wibowo. Berbeda dengan dua buku sebelumnya, Selimut Debu dan Garis Batas, yang menJadi, inilah klimaks dari catatan perjalanan yang disusun Agustinus Wibowo. Berbeda dengan dua buku sebelumnya, Selimut Debu dan Garis Batas, yang menyuguhkan gegap gempita sebuah perjalanan, Titik Nol lebih banyak berisi racauan Agustinus sebagai seorang pejalan yang telah lama pergi dari rumah.
Racauan Agustinus ini adalah khas seorang pejalan yang mengalami titik nol. Betapa perjalanan dirinya untuk melebur ke dalam diri masyarakat yang baru dia temui, untuk kemudian dia lepas lagi di tempat yang baru.
Tapi justru setelah mengalami titik nol, seseorang bisa merasa terlahir kembali. Segala beban dari masa lalu, yang terbawa dari masa lalu, bisa dilepas. Langkah menuju hari baru pun terasa lebih ringan. Seperti halnya deret bilangan yang membutuhkan angka nol: satuan membutuhkan angka nol untuk menjadi puluhan, puluhan membutuhkan angka nol baru untuk menjadi ratusan, dan seterusnya.
Mungkin itu sebabnya agama menyarankan umatnya untuk melakukan ziarah. Karena selama ziarah, seseorang dipaksa untuk melepas segala atribut yang melekat pada dirinya, atribut yang mengusung ego dan kenyamanan yang melenakan. Semuanya hilang, larut ke titik nol, membuat diri tak lebih besar dari setitik debu yang ada di gurun kehidupan. Makna yang sayangnya sering terlupakan oleh mereka yang pulang dari ziarah. Ziarah menjadi satu kebanggaan, satu atribut baru yang dianggap menambah derajat diri mereka dibanding manusia lain. Padahal, “ziarah bukan pembuktian diri, bukanlah penaklukan tantangan, bukan penyingkapan misteri. Tak ada kebanggaan pasca ziarah� (hal 52).
Terlepas dari segala pujian untuk buku ini, ada dua ganjalan kecil yang saya temukan: “Mereka pun belum pernah melihat sisi lain dari danau yang sama, karena itu tanah sama sekali terlarang� (hal. 34). Itu tanah atau tanah itu? Serta “Sang petualang mengisahkan, semenjak meninggalkan padepokan sang pertapa, betapa sedih dianya mendengar tragedi pembantaian di zaman pemerintahan Indira Gandhi, � (hal 261). Betapa sedih dianya atau sedihnya dia? � (lits) ...more