Kematian Quotes
Quotes tagged as "kematian"
Showing 1-30 of 69

“Lebih banyak orang menghadapi kematian di atas tempat tidur daripada orang yang mati di atas pesawat.
Tetapi kenapa lebih banyak orang yang takut mati ketika menaiki pesawat daripada orang yang takut menaiki tempat tidur.
More people can see the face of death while their sleep in their own bed rather than people who can see the face of death while their flying in the plane.
But why more people scare to take a plane than people who take a bed.”
―
Tetapi kenapa lebih banyak orang yang takut mati ketika menaiki pesawat daripada orang yang takut menaiki tempat tidur.
More people can see the face of death while their sleep in their own bed rather than people who can see the face of death while their flying in the plane.
But why more people scare to take a plane than people who take a bed.”
―

“Barangkali itulah mengapa kematian ada, aku menduga. Mengapa kita mengenal konsep berpisah dan bersua. Terkadang kita memang harus berpisah dengan diri kita sendiri; dengan proyeksi. Diri yang telah menjelma menjadi manusia yang kita cinta.”
― Rectoverso
― Rectoverso

“Tuhan percaya kamu. Dia ngga mengejar kamu dengan kematian. Dia ngga seegois manusia. Dia bukan pendendam.”
― Dan Hujan Pun Berhenti
― Dan Hujan Pun Berhenti

“Kematianku tak lebih dari seperti saat seorang penyair menuliskan tanda titik pada akhir kalimat sajaknya.”
― Laut Bercerita
― Laut Bercerita

“Kematian selalu membuntuti Kehidupan dengan begitu dekat, bukanlah karena keharusan biologis, melainkan karena rasa iri. Kehidupan ini begitu indah, sehingga maut pun jatuh cinta padanya. Cinta yang pencemburu dan posesif, yang menyambar apapun yang bisa diambilnya”
― Life of Pi
― Life of Pi

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,
Telah meninggal dunia ibu, oma, nenek kami tercinta....
Requiescat in pace et in amore,
Telah dipanggil ke rumah Bapa di surga, anak, cucu kami terkasih....
Dalam sehari, Bunda menerima dua kabar (duka cita / suka cita) sekaligus. Apakah kesedihan serupa cucuran air hujan yang jatuh dan mengusik keheningan kolam? Apakah kebahagiaan seperti sebuah syair yang mesti dipertanyakan mengapa ia digubah? Bagaimana kita mesti menjawab pertanyaan tentang kematian orang orang terdekat? Mengapa mereka pergi? Kemana mereka akan pergi?
Memento mori, serupa nyala api dan ngengat yang terbakar. Seperti juga lilin yang padam, bunga yang layu, ranting yang kering, pohon yang meranggas. Mereka hanyalah sebuah pertanda, bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Agar kita senantiasa teringat pada tempus fugit, bahwa waktu yang berlalu tak akan pernah kembali. Ketika Bunda masih muda, sesungguhnya Bunda sudah tidak lagi muda, tak akan pernah bertambah muda, tak akan kembali muda. Waktu telah merenggut kemudaan kita pelan pelan. Ketuaan adalah sebuah keniscayaan, dan kematian adalah sebuah kepastian.
Tak ada sesuatu pun yang abadi, Anakku. Ingatan tentang mati semestinya memberi kita pelajaran berharga. Jangan pernah menyia nyiakan waktu. Jangan hilang niat untuk bangkit dari ranjang. Jangan terlalu malas untuk bekerja. Jangan terlalu letih untuk menuntaskan hari. Jangan pernah lupa untuk berdoa. Jangan lalai untuk bersyukur. Jadikan hari ini sebagai milikmu. Ketika semua perkara seakan menggiring langkahmu pada kesulitan, kegagalan, ketidakpastian dan rasa sakit. Pikirkanlah siapa yang akan jadi malaikat pelindung dan penolongmu? Bagaimana engkau akan menemukan eudaimonia? Bagaimana engkau hendak memaknai hidup?
Dalam sekejap mata hidup bisa berubah. Waktu berlalu dan ia tak akan pernah kembali. Gunakan kesempatan untuk bercermin pada permukaan air yang jernih. Tatap langsung kedalaman telaga yang balik menatap kepada dirimu. Abaikan rasa sakit dan penderitaan, sebab puncak gunung sudah membayang di depan mata dan terbit matahari akan menghangatkan kalbumu. Cuma dirimu yang punya kendali atas pikiran, hasrat dan nafsu, perasaan dan kesadaran inderawi, persepsi, naluri dan semua tindakanmu sendiri.
Ketika kita mengingat kematian, kita tidak akan lagi merasa gentar. Sebab ia lembut, ia tak lagi menakutkan. Ia justru menuntaskan segala rasa sakit dan penderitaan. Ia pengejawantahan waktu yang berharga, kecantikan yang abadi, indahnya rasa syukur, dan kemuliaan di balik setiap ucapan terima kasih. Ia mengajarkan kita bagaimana menghargai kehidupan yang sesungguhnya. Ia membimbing kita menemukan pintu takdir kita sendiri.
Apapun perubahan yang menghampiri dirimu. Ia adalah pintu rahasia yang menjanjikan kejutan yang tak akan pernah kamu sangka sangka. Yang terbaik adalah menerimanya sebagai berkat. Apa yang ada dalam dirimu adalah kekuatanmu. Engkau akan membuatnya berarti. Bagi mereka yang paham, takdir dan kematian adalah sebuah karunia, seperti juga kehidupan. Sesungguhnyalah kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali.”
―
Telah meninggal dunia ibu, oma, nenek kami tercinta....
Requiescat in pace et in amore,
Telah dipanggil ke rumah Bapa di surga, anak, cucu kami terkasih....
Dalam sehari, Bunda menerima dua kabar (duka cita / suka cita) sekaligus. Apakah kesedihan serupa cucuran air hujan yang jatuh dan mengusik keheningan kolam? Apakah kebahagiaan seperti sebuah syair yang mesti dipertanyakan mengapa ia digubah? Bagaimana kita mesti menjawab pertanyaan tentang kematian orang orang terdekat? Mengapa mereka pergi? Kemana mereka akan pergi?
Memento mori, serupa nyala api dan ngengat yang terbakar. Seperti juga lilin yang padam, bunga yang layu, ranting yang kering, pohon yang meranggas. Mereka hanyalah sebuah pertanda, bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Agar kita senantiasa teringat pada tempus fugit, bahwa waktu yang berlalu tak akan pernah kembali. Ketika Bunda masih muda, sesungguhnya Bunda sudah tidak lagi muda, tak akan pernah bertambah muda, tak akan kembali muda. Waktu telah merenggut kemudaan kita pelan pelan. Ketuaan adalah sebuah keniscayaan, dan kematian adalah sebuah kepastian.
Tak ada sesuatu pun yang abadi, Anakku. Ingatan tentang mati semestinya memberi kita pelajaran berharga. Jangan pernah menyia nyiakan waktu. Jangan hilang niat untuk bangkit dari ranjang. Jangan terlalu malas untuk bekerja. Jangan terlalu letih untuk menuntaskan hari. Jangan pernah lupa untuk berdoa. Jangan lalai untuk bersyukur. Jadikan hari ini sebagai milikmu. Ketika semua perkara seakan menggiring langkahmu pada kesulitan, kegagalan, ketidakpastian dan rasa sakit. Pikirkanlah siapa yang akan jadi malaikat pelindung dan penolongmu? Bagaimana engkau akan menemukan eudaimonia? Bagaimana engkau hendak memaknai hidup?
Dalam sekejap mata hidup bisa berubah. Waktu berlalu dan ia tak akan pernah kembali. Gunakan kesempatan untuk bercermin pada permukaan air yang jernih. Tatap langsung kedalaman telaga yang balik menatap kepada dirimu. Abaikan rasa sakit dan penderitaan, sebab puncak gunung sudah membayang di depan mata dan terbit matahari akan menghangatkan kalbumu. Cuma dirimu yang punya kendali atas pikiran, hasrat dan nafsu, perasaan dan kesadaran inderawi, persepsi, naluri dan semua tindakanmu sendiri.
Ketika kita mengingat kematian, kita tidak akan lagi merasa gentar. Sebab ia lembut, ia tak lagi menakutkan. Ia justru menuntaskan segala rasa sakit dan penderitaan. Ia pengejawantahan waktu yang berharga, kecantikan yang abadi, indahnya rasa syukur, dan kemuliaan di balik setiap ucapan terima kasih. Ia mengajarkan kita bagaimana menghargai kehidupan yang sesungguhnya. Ia membimbing kita menemukan pintu takdir kita sendiri.
Apapun perubahan yang menghampiri dirimu. Ia adalah pintu rahasia yang menjanjikan kejutan yang tak akan pernah kamu sangka sangka. Yang terbaik adalah menerimanya sebagai berkat. Apa yang ada dalam dirimu adalah kekuatanmu. Engkau akan membuatnya berarti. Bagi mereka yang paham, takdir dan kematian adalah sebuah karunia, seperti juga kehidupan. Sesungguhnyalah kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali.”
―

“Apakah arti kematian ini selain pelukan keabadian. Tempat kemana air mataku jatuh bergulir, kemana rohku pergi melangkah, dan sayap-sayapku terbang tinggi membubung.
- Harsimran Tapasvi, Tawanan Kepedihan”
―
- Harsimran Tapasvi, Tawanan Kepedihan”
―
“Hidup adalah segala
yang menuju;
yang dituju
Hidup adalah penantian
yang panjang;
yang sementara
Hidup adalah rahasia
yang rumit;
yang sederhana
Hidup adalah teka-teki
yang usai tatkala mati.”
―
yang menuju;
yang dituju
Hidup adalah penantian
yang panjang;
yang sementara
Hidup adalah rahasia
yang rumit;
yang sederhana
Hidup adalah teka-teki
yang usai tatkala mati.”
―

“Aku pernah merasakan betapa hampanya tak memiliki tujuan hidup, sementara kematian enggan menjemput.”
― Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
― Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu
“Kesedihan membawa mereka pergi dan berakhir di sini. Di mana air mata tidak pernah pergi, di mana kesedihan bertahan dan kehidupan berakhir.”
― Kita Pergi Hari Ini
― Kita Pergi Hari Ini

“Makam, meskipun hanya tempat jasad kita, mestilah kita usahakan yang baik, tidak rusak dan kotor, lagi pula orang yang mau menziarahi makam tersebut tidak akan kesulitan menemuinya.”
― Lebaran di Karet, di Karet...: Kumpulan Cerpen Umar Kayam
― Lebaran di Karet, di Karet...: Kumpulan Cerpen Umar Kayam

“Kematian akan membatalkan semua nestapa, suatu penghujung yang tak bisa dilalui oleh penyakit; mengembalikan kita pada kedamaian yang menaungi kita sebelum kita lahir.”
― How to Die: An Ancient Guide to the End of Life
― How to Die: An Ancient Guide to the End of Life

“Hanya orang lemah yang mati karena menanggung sakit, tapi hanya orang bodoh yang tetap hidup untuk menahan rasa sakit. (Surat-surat 58. 32-36).”
― How to Die: An Ancient Guide to the End of Life
― How to Die: An Ancient Guide to the End of Life

“Semakin sedikit beban yang kita miliki, semakin ringan kita membawanya. Toh kematian tak mengijinkan kita membawa apapun kecuali jejak kebaikan”
― BANU Pewaris Trah Pesantren
― BANU Pewaris Trah Pesantren

“Kematian selalu menyisakan kesedihan bagi yang ditinggalkan. Apalagi bila kematian itu datang dengan cara yang tak wajar.”
― Nostalgia Merah
― Nostalgia Merah
“Kita tidak pernah berhitung. Berapa air mata yang jatuh dalam kehidupan? Hingga akhirnya, kita dijatuhi air mata karena kematian.”
― Lisa San No Machigatta Koi
― Lisa San No Machigatta Koi

“Mata panah terlepas dari busur
tidak engkau tahu di mana jatuhnya.
Laksana perjalanan engkau
di mana akan berhenti.”
― Langit Membuka Lipatan
tidak engkau tahu di mana jatuhnya.
Laksana perjalanan engkau
di mana akan berhenti.”
― Langit Membuka Lipatan

“Dibuka pintu langit
cukup luas rahmat Dia.
Dibuka pintu tanah
sekadar muat jasad engkau.”
― Langit Membuka Lipatan
cukup luas rahmat Dia.
Dibuka pintu tanah
sekadar muat jasad engkau.”
― Langit Membuka Lipatan
“Berbahagialah mereka yang masih menyempatkan diri untuk sekadar mensyukuri detik-detik yang masih mereka miliki, kekasih.
Karena terkadang kita tak pernah benar-benar tahu (kapan kematian akan mengendap-endap, dan meringkus kita sewaktu-waktu)”
―
Karena terkadang kita tak pernah benar-benar tahu (kapan kematian akan mengendap-endap, dan meringkus kita sewaktu-waktu)”
―

“Bagi sebagian besar orang di India, hidup yang berat ternyata tak serta merta berakhir saat kematian tiba.”
― Yatra & Madhyaantar
― Yatra & Madhyaantar
“Secara tidak kita sadari bahwa detik ini kita sebenarnya sedang menjalani proses kematian, sebab ia bukanlah peristiwa sesaat, ia terjadi secara bertahap, dan kita sudah memulainya sejak kita dilahirkan.”
―
―
“Penderitaan itu penting, agar manusia lebih siap menghadapi kematian.”
― Kumpulan Kalimat Demotivasi II: Panduan Hidup Bahagia Untuk Medioker
― Kumpulan Kalimat Demotivasi II: Panduan Hidup Bahagia Untuk Medioker

“Hubungan orangtua dan anak adalah hubungan paling dekat yang bisa dimiliki manusia dan tidak bisa diputus dengan apapun. Ada bagian orangtua dalam diri anak dan sebaliknya, seperti saling memiliki. Sayangnya, manusia lebih sering tidak tahu apa yang dimiliki hingga nanti hal itu hilang. Manusia sering tidak sadar pentingnya kehadiran orang terdekat, sampai mereka dijemput kematian.”
― Pendidikan Keluarga Kami
― Pendidikan Keluarga Kami
“Setiap bagian dari tubuhmu adalah sistem yang sedang menuju kehancuran. Tidak peduli seberapa sehat kamu hari ini, tidak peduli seberapa keras kamu merawatnya, tubuhmu perlahan tapi pasti sedang menuju titik di mana semuanya berhenti bekerja.
Otakmu, pusat kesadaran yang kamu anggap sebagai identitasmu, hanyalah jaringan listrik dan reaksi kimia yang semakin hari semakin melemah. Neuron-neuron yang dulu tajam kini mulai kehilangan efisiensinya. Memori yang kamu anggap abadi akan pudar, sampai akhirnya kamu tidak lagi mengenali dirimu sendiri. Saat otakmu mati, semua yang pernah kamu rasakan, pikirkan, dan impikan akan lenyap—seolah tidak pernah ada.
Jantungmu, mesin biologis yang tanpa lelah memompa darah ke seluruh tubuh, perlahan akan melemah. Dinding pembuluh darah yang dulu fleksibel kini menebal, aliran darahmu melambat, dan suatu hari, denyut yang selama ini kau anggap biasa akan berhenti selamanya. Tanpa suara, tanpa peringatan, hanya sebuah akhir yang tak bisa dihindari.
Paru-parumu, organ yang menghidupimu dengan udara, juga tidak luput dari hukum entropi. Seiring waktu, elastisitasnya berkurang, kapasitasnya menurun, dan perlahan tapi pasti, setiap tarikan napas menjadi pengingat bahwa kamu semakin dekat dengan kesudahan.
Tulang dan ototmu, yang dulu kuat dan penuh tenaga, kini menjadi rapuh. Setiap gerakan mulai terasa berat, persendianmu mulai berderit seperti mesin tua yang kehilangan pelumasnya. Tidak peduli seberapa keras kamu berolahraga, tidak peduli seberapa banyak vitamin yang kamu konsumsi—semuanya hanya menunda yang tak terelakkan.
Kulitmu, yang dulu kencang dan segar, mulai mengendur, penuh garis-garis halus yang mengingatkan bahwa waktu tidak pernah berhenti. Luka yang dulu sembuh dalam hitungan hari kini butuh waktu lebih lama, sampai akhirnya tubuhmu tidak lagi bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Di dalam dirimu, sel-selmu, yang pernah beregenerasi dengan sempurna, mulai melakukan kesalahan. Mutasi kecil yang tidak terlihat mulai menumpuk. Sistem yang dulu berjalan mulus mulai kehilangan keseimbangan. Pada akhirnya, tubuhmu sendiri akan menjadi musuhnya, membiarkan entropi mengambil alih dan membawa semuanya menuju kehancuran yang pasti.
Ini bukan spekulasi, ini adalah fakta. Entropi tidak peduli seberapa keras kamu mencoba melawan. Tidak ada teknologi, tidak ada ilmu, tidak ada doa yang bisa menghentikan proses ini. Pada akhirnya, tubuhmu akan kembali ke tanah, menjadi debu, menyatu dengan sistem yang lebih besar—sama seperti jutaan makhluk lain yang telah lenyap sebelum kamu. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah: apakah kamu akan menjalani hidupmu dengan menyadari kepastian ini, atau terus bersembunyi dalam ilusi bahwa kamu bisa menghindarinya?”
―
Otakmu, pusat kesadaran yang kamu anggap sebagai identitasmu, hanyalah jaringan listrik dan reaksi kimia yang semakin hari semakin melemah. Neuron-neuron yang dulu tajam kini mulai kehilangan efisiensinya. Memori yang kamu anggap abadi akan pudar, sampai akhirnya kamu tidak lagi mengenali dirimu sendiri. Saat otakmu mati, semua yang pernah kamu rasakan, pikirkan, dan impikan akan lenyap—seolah tidak pernah ada.
Jantungmu, mesin biologis yang tanpa lelah memompa darah ke seluruh tubuh, perlahan akan melemah. Dinding pembuluh darah yang dulu fleksibel kini menebal, aliran darahmu melambat, dan suatu hari, denyut yang selama ini kau anggap biasa akan berhenti selamanya. Tanpa suara, tanpa peringatan, hanya sebuah akhir yang tak bisa dihindari.
Paru-parumu, organ yang menghidupimu dengan udara, juga tidak luput dari hukum entropi. Seiring waktu, elastisitasnya berkurang, kapasitasnya menurun, dan perlahan tapi pasti, setiap tarikan napas menjadi pengingat bahwa kamu semakin dekat dengan kesudahan.
Tulang dan ototmu, yang dulu kuat dan penuh tenaga, kini menjadi rapuh. Setiap gerakan mulai terasa berat, persendianmu mulai berderit seperti mesin tua yang kehilangan pelumasnya. Tidak peduli seberapa keras kamu berolahraga, tidak peduli seberapa banyak vitamin yang kamu konsumsi—semuanya hanya menunda yang tak terelakkan.
Kulitmu, yang dulu kencang dan segar, mulai mengendur, penuh garis-garis halus yang mengingatkan bahwa waktu tidak pernah berhenti. Luka yang dulu sembuh dalam hitungan hari kini butuh waktu lebih lama, sampai akhirnya tubuhmu tidak lagi bisa memperbaiki dirinya sendiri.
Di dalam dirimu, sel-selmu, yang pernah beregenerasi dengan sempurna, mulai melakukan kesalahan. Mutasi kecil yang tidak terlihat mulai menumpuk. Sistem yang dulu berjalan mulus mulai kehilangan keseimbangan. Pada akhirnya, tubuhmu sendiri akan menjadi musuhnya, membiarkan entropi mengambil alih dan membawa semuanya menuju kehancuran yang pasti.
Ini bukan spekulasi, ini adalah fakta. Entropi tidak peduli seberapa keras kamu mencoba melawan. Tidak ada teknologi, tidak ada ilmu, tidak ada doa yang bisa menghentikan proses ini. Pada akhirnya, tubuhmu akan kembali ke tanah, menjadi debu, menyatu dengan sistem yang lebih besar—sama seperti jutaan makhluk lain yang telah lenyap sebelum kamu. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa adalah: apakah kamu akan menjalani hidupmu dengan menyadari kepastian ini, atau terus bersembunyi dalam ilusi bahwa kamu bisa menghindarinya?”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 99.5k
- Life Quotes 78k
- Inspirational Quotes 74.5k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 30.5k
- Inspirational Quotes Quotes 27.5k
- God Quotes 26.5k
- Truth Quotes 24k
- Wisdom Quotes 24k
- Romance Quotes 23.5k
- Poetry Quotes 22.5k
- Life Lessons Quotes 20.5k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Quotes Quotes 18.5k
- Hope Quotes 18k
- Faith Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17k
- Spirituality Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15k
- Motivational Quotes 15k
- Writing Quotes 15k
- Relationships Quotes 15k
- Life Quotes Quotes 14.5k
- Love Quotes Quotes 14.5k
- Success Quotes 13.5k
- Time Quotes 12.5k
- Motivation Quotes 12.5k
- Science Quotes 12k
- Motivational Quotes Quotes 11.5k